Aku sedang membuat to do list untuk Bizarre sewaktu Bapak mengajakku pulang. Sebenarnya aku ingin menolak, tetapi aku belum pulang ke rumah sejak Sabtu, yang berarti sudah enam hari. Jadi aku menurut saja, membereskan barang-barangku lalu berjalan kaki bersama Bapak. Lagi pula aku tidak ingin Bapak sendirian di rumah saat harus menghadapi Ibu dan Kak Tata.
Jarak rumahku dan Bizarre tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh dengan 10 menit berjalan santai. Aku dan Bapak masih di ujung jalan saat aku melihat mobil Kak Andi di depan rumah. Kak Andi adalah pacar Kak Tata.
Sebenarnya lelaki itulah alasan terbesarku malas pulang ke rumah dan memilih menghabiskan waktu di Bizarre saja. Kak Andi adalah pendiri klub buku tempatku bergabung dua tahun terakhir ini. Awalnya akulah yang dekat dengan Kak Andi. Akulah yang dia dekati untuk dijadikan kekasih. Setidaknya itulah yang aku rasakan.
Kami menghabiskan waktu nyaris setiap hari di Bizarre. Terkadang kami membahas buku yang kami anggap menarik atau hanya sekadar duduk bersisian dengan bacaan masing-masing. Kak Andi membuatku merasa cantik setiap kali dia memuji wawasanku tentang buku. Aku selalu senang melihat tatapan kagumnya saat mendengar pendapatku terhadap buku-buku yang ditulis jauh sebelum kami berdua lahir. Puncaknya, dia berkata dia jatuh cinta pada isi kepalaku. Sayangnya aku lupa bertanya apakah isi kepala ini termasuk dengan badanku sekalian lantas dengan semena-mena memutuskan itu kurang lebih sama dengan dia jatuh cinta kepadaku. Lagi pula bukannya aneh, ya, mencintai seseorang hanya kepalanya saja?
Sampai dia bertemu Kak Tata dan dia melupakan begitu saja sel-sel kelabuku yang katanya dia jatuh cintai itu. Laki-laki normal mana pun yang matanya masih awas, pastinya akan memilih Kak Tata. Kakak semata wayangku itu memang cantik. Sangat cantik.
Kak Tata tinggi semampai. Aku juga semampai, semeter tak sampai. Baiklah, itu berlebihan, tinggiku sekitar 150-an sentimeter. Namun, tetap saja pendek bila dibandingkan dengan Kak Tata yang tingginya 170 sekian. Hidungnya mancung sedangkan hidungku seperti adonan nastar acak yang ditempel di atas mulut. Kulit Kak Tata juga putih bersih sedangkan kulitku lebih gelap. Intinya, Kak Tata adalah keturunan bidadari, sedangkan aku hanya pantas jadi dayang-dayangnya saja.
Yang membuatku semakin patah hati adalah Kak Andi menghilang tanpa ada kata-kata perpisahan. Ya, meskipun dia tidak menghilang banget juga, sih. Cuma pindah medan, dari tempat penyewaan buku ke rumah kami. Aku masih melihatnya hampir setiap hari mendekati Kak Tata. Hanya saja, dia memperlakukanku seperti kami tidak pernah dekat sebelumnya.
Bapaklah yang pertama kali membahas tentang Kak Andi sewaktu Ibu memberi tahu kami bahwa Kak Tata dan Kak Andi baru saja jadian. Ibu tidak mengetahui bahwa aku dan Kak Andi sudah dekat beberapa bulan sebelumnya karena kami menghabiskan waktu di Bizarre. Kak Andi hanya sekali datang ke rumah. Itu hari dia bertemu Kak Tata.
“Tata pacaran sama Andi? Kok bisa? Kan, dia pacarnya Runi.”
Aku yang sedang mencuci piring bekas kami makan malam, membelakangi Bapak dan Ibu, hanya menunduk.
“Ya, enggak mungkinlah pacar Runi. Dia pacarannya sama Tata.”
Aku sepenuhnya memaafkan Kak Andi saat itu juga. Bagaimana aku berharap orang lain bisa melihat menembus penampilan luarku, jika perempuan yang melahirkanku saja tidak bisa melakukannya?
Bapak tidak mendebat Ibu lagi. Beliau sepertinya bisa membaca kesedihan yang terpancar dari punggungku karena malam itu Bapak mengetuk pintu kamarku. Bapak memintaku memotong kuku kaki dan tangannya.
“Kenapa Bapak enggak minta sama Ibu aja?” Aku bertanya padahal sudah tahu jawabannya.
“Nanti Bapak diceramahi soal pamali potong kuku malam-malam,” jawab Bapak enteng.
Aku meminta Bapak duduk di tempat tidurku sedang aku duduk bersila di lantai. Aku baru sampai di kuku kedua sewaktu Bapak mulai berbicara.
“Bapak juga tidak begitu suka sama Andi.”