Dahulu aku selalu bertanya-tanya apa perlunya satu rumah, rumahku termasuk di dalamnya, memiliki pintu masuk lain selain yang ada di ruang tamu. Kalian pasti tahu maksudku. Akses lain untuk memasuki bangunan rumah tanpa melewati pintu utama. Biasanya langsung terhubung dengan dapur atau ruang keluarga.
Sekarang aku tahu gunanya. Untuk menghindarkanku dari dosa karena diam-diam ingin muntah saat melihat tamu yang tidak kuinginkan. Seperti Kak Andi, misalnya. Kalian jangan mengira aku masih memujanya. Untuk orang seperti aku, yang (mengaku) sangat mengedepankan logika, tidak sulit menghilangkan perasaan suka (aku tidak sudi menyebutnya cinta) dalam waktu yang singkat.
Kalaupun aku memilih menghindari Kak Andi, itu bukan disebabkan saat melihatnya kembali, mataku akan berkaca-kaca lalu segala kenangan yang lumayan indah kembali menyeruak di ingatanku. Sama sekali bukan.
Aku merasakan sakit, tetapi bukan sakit patah hati. Percayalah, rasa sakit karena dicampakkan itu, sifatnya sementara. Yang selamanya adalah perasaan kalah bersaing.
Meskipun kalau dipikir-pikir, kapan juga aku pernah menang bila bersaing dengan Kak Tata? Bahkan Bapak yang jelas-jelas memihakku dan (kalau boleh sombong) lebih menyayangiku, tidak bisa aku masukkan ke dalam daftar kemenangan atas Kak Tata. Karena, toh, dia memiliki Ibu.
Pemandangan Kak Tata sedang berdiri dengan jarak dua kali salto sambil memegang sutil seperti hendak bermain anggar, menyambutku saat masuk melewati pintu samping. Oke, ini mungkin bisa kumasukkan ke dalam daftar. Aku lebih berani menghadapi minyak panas yang bertemu dengan ikan dibandingkan Kak Tata.
“Ngapain, Kak?”
“Berenang. Ya, kali, enggak bisa lihat orang lagi masak apa.” Kak Tata seperti biasa selalu ketus.
Hal itu membuatku bertanya-tanya, mengapa semua lelaki yang memujanya tidak bisa melihat keketusannya, ya? Jangan-jangan dia hanya memperlihatkannya kepadaku, orang terdekatnya. Karena, kalian tahulah, kita lebih mudah menunjukkan diri kita yang sebenarnya kepada orang-orang terdekat.
Aku berjalan ke lemari tempat panci diletakkan lalu mengambil salah satu tutupnya. Tanpa berbicara aku meletakkannya di atas wajan agar minyak panasnya tidak melukai kulit mulus kakakku.
“Kok, ditutup, sih? Gimana bisa tahu ikannya udah matang atau belum?”
Aku sebenarnya bisa saja menjelaskan bahwa jawaban untuk pertanyaannya adalah pakai perasaan. Perasaan yang didapatkan dari pengalaman. Oleh karena itu, sering-seringlah memfungsikan dapur alih-alih menganggapnya hanya sebagai aksesori rumah belaka. Atau untuk kasus Kak Tata, karena jelas pengalamannya belum ada, dia bisa memaksimalkan hidungnya. Jika sudah ada bau gosong, berarti ikannya butuh dibalik.
Namun, aku memilih tidak berkomentar apa-apa, kembali melangkah mendekati kompor dan memindahkan tutup panci dari atas wajan. Segera saja minyak panas kembali bercipratan keluar dari wajan.
“Udah, udah, balikin. Aduh! Kena minyak, kan! Runi, igh!” Kak Tata menjerit sambil mengusap punggung tangannya yang terkena minyak.
“Ada apa, sih, kalian?” Tahu-tahu Ibu muncul, di tangannya ada bungkusan.
Ibu akan seketika datang jika mendengar anak kesayangannya menjerit. Di mana pun saat itu Ibu berada. Di kamar, di rumah tetangga, di ujung kompleks, di benua yang berbeda. Oke, itu sarkasme. Intinya, ada semacam telepati antara Kak Tata dan Ibu. Detik ini Kak Tata menjerit, detik berikutnya Ibu sudah akan ada di dekatnya.
“Runi, Bu. Udah tahu minyaknya nyiprat, malah tutup pancinya dipindahin.”
Kalian tidak perlu mengasihani aku karena dijadikan semacam kambing hitam. Kalian juga tidak perlu mengharapkan aku marah dan protes. Pertama, aku jelas bukan kambing, karenanya aku tidak perlu marah. Kedua, aku memang agak hitam, sih. Jadi sia-sia saja marahnya.