Seperti biasa, aku selalu berangkat ke Bizarre pagi-pagi sekali, sebelum Bapak. Aku memasukkan sarapanku ke dalam wadah plastik. Beberapa sendok nasi goreng saat mencicipi rasanya, bertanggung jawab terhadap perutku yang masih terasa penuh.
Orang yang selalu membuka Bizarre di pagi hari adalah aku. Bahkan di hari-hari sekolah. Pukul enam, paling lambat setengah tujuh, aku akan menyapu lantai Bizarre hingga ke bagian trotoar depan, membuka jendela di lantai dua, merapikan buku-buku yang tidak sempat aku lakukan malam sebelumnya, dan membalik tulisan “buka” menghadap keluar.
Hari itu Jumat, ada tiga hari “libur” sebelum Ujian Nasional terakhirku di hari Senin. Semalam Dian memberi tahu akan datang dan kami akan belajar bersama. Dia tidak peduli meskipun aku mengatakan tidak ada gunanya kami belajar di hari Jumat untuk ujian hari Senin. Sebanyak apa pun hafalan yang aku kumpulkan, masih ada kurang lebih 2x24 jam bagi hafalan-hafalan itu untuk berebut keluar dari tempatku berusaha menjejalkan mereka secara paksa.
Bapak tiba sekitar pukul delapan dan langsung membahas lamaran tidak resmi Kak Andi tadi malam.
“Orang tua Andi minta pernikahannya disegerakan. Tahun ini.”
Aku duduk dan mendengarkan apa pun kalimat yang akan Bapak sampaikan. Kalimat yang membuat wajah Bapak kusut, seperti kusutnya seragamku di menit-menit terakhir menjelang bubar sekolah.
“Sebenarnya keluarga Andi menawarkan untuk mengadakan pesta resepsi bersama. Tapi entah apa yang ada di pikiran ibumu saat dia menolak. Belum resmi menolak ke orang tua Andi, sih. Tapi kamu tahu sendiri ibumu bagaimana. Katanya dia malu kalau kita tidak menghelat resepsi sendiri. Ibumu juga tidak ingin kakakmu nanti dianggap remeh suaminya atau bahkan diinjak-injak karena masalah ini.” jelas Bapak panjang lebar.
“Kak Tata enggak akan diinjak-injak, Pak. Yakin, Runi. Ada juga dia yang menindas.” Aku menyeringai.
“Itu juga yang Bapak bilang ke ibumu semalam. Tidak persis begitu, sih. Intinya kekhawatiran ibumu tidak beralasan.”
“Jadi, gimana?”
“Bapak sudah bilang tabungan untuk kuliahmu tidak boleh diutak-atik.”
“Emang mau nikah kapan, sih, Pak?”
“Rencananya akhir tahun. Masih harus dirembukin dua keluarga dulu.”
“Oh, masih lama. Yang Runi bilang kemarin masih berlaku, ya, Pak. Enggak apa-apa kalau harus nunda kuliah setahun. Lagian Runi juga udah malas gitu mesti sekolah lagi, belajar lagi.”
“Kamu, kan, pengen banget masuk Sastra Prancis, Run.”
“Jepang, Pak.” Aku meralat Bapak.
Bapak menatapku cukup lama sambil mengerutkan alisnya, berusaha mengingat.
“Prancis, ah!”
“Jepang, Pak. Igh. Yang mau kuliah siapa, yang ngotot siapa coba?”