“Aku kayaknya tahun ini enggak kuliah dulu,” ucapku sambil membereskan buku dan catatan pelajaran.
“Hah? Maksudnya?” sergah Dian. Agung hanya menatapku, sepertinya meminta penjelasan.
“Iya. Keuangan kami lagi tidak bisa difokuskan untuk dua hal besar. Harus milih antara aku atau Kak Tata ....”
“Kak Tata mau kuliah lagi? Ambil S-2 gitu?” tanya Dian lagi.
Agung mendesah sedikit lebih keras. “Ian, bisa enggak, omongan orang jangan dipotong? Itu Runi lagi mau ngejelasin.”
Dian menyengir, “Maaf, maaf, aku kaget soalnya.”
“Iya, semalam itu Kak Andi ngomong sama Bapak sama Ibu mau ngelamar Kak Tata. Acaranya tahun ini. Butuh biaya pastinya. Kuliahku bisa menunggu tahun depan.”
“Enak aja! Harusnya yang menunggu sampai tahun depan itu, orang yang mau nikah, bukan yang mau kuliah. Egois banget, sih! Bapakmu masa mbiarin kamu ngalah, sih, Run,” ucap Dian berapi-api.
“Itu si anu emang udah kebelet banget mau nikah, ya?”
Mau tidak mau aku dan Dian tertawa mendengar Agung yang masih saja menyebut Kak Andi dengan si anu. Sahabatku itu memang masih sangat jengkel karena Kak Andi membuangku begitu saja setelah bertemu dengan Kak Tata.
“Itu keputusanku sendiri. Aku kasian sama Bapak. Ibu nyuruh minjem duit pakai jaminan sertifikatnya Bizarre, coba.”
“Serius?” Mata Dian membelalak.
“Iya. Aku, kan, takut, ya, kalau Bapak tidak bisa ngembaliin pinjamannya. Makanya, aku ngalah ajalah. Demi Bapak, demi aku juga, sih, he-he. Lagian aku juga biar bisa ngumpulin duit dulu setahun ke depan. Belajar, kan, bisa di mana aja, lewat apa aja.”
Aku memberi tahu mereka berdua tentang rencana-rencanaku.
“Aah, Runi ....” Dian memeluk sambil mengusap-usap punggungku.
Mungkin maksudnya ingin menghibur. Padahal sungguh, aku tidak sesedih yang mungkin dia pikirkan.
“Kalau begitu, kami bisa ngebantu apa?” tanya Agung.
“Bantu doa juga boleh,” jawabku diplomatis.
“Wah, kalau itu aku enggak bisa jamin doaku bakal dikabulin atau enggak.”
“Ya, udah. Kalau gitu, kamu bantu foto untuk posting-an di Instagram, deh,” putusku.
“Bener. Pakai kameramu yang mahal itu, ya. Sama temenin Runi nenteng buku-bukunya kalau nanti jadi nggelar lapak di taman kota,” ucap Dian.
“Taman kota sama di Pantai Losari nanti.”
“Emang boleh gelar lapak gitu? Bukanya harus izin, ya, kalau mau jualan?”
“Yeee, anak ini! Enggak nyimak berarti! Runi hanya menggelar buku-buku buat baca gratis, Gung. Bukan buat jualan. Semacam promosi gitu kalau ada tempat penyewaan buku keren yang namanya Bizarre. Masa gitu juga harus minta izin.”
“Enggak tahu juga, sih. Lihat gimana nantilah. Tiap Sabtu sama Minggu, kan, Run? Besok berarti.”
“Heh, besok, besok. Minggu depan! Sampai Senin nanti, enggak boleh ada aktivitas lain selain belajar. Kalian mau enggak lulus?” Dian segera mengembalikan kami ke jalan yang lurus.