Meskipun aku berkali-kali memberi tahu Bapak aku rela melepaskan satu tahunku untuk tidak berkuliah, aku tetap mengikuti UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) dan SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Lagi pula aku juga sudah mendaftar dua gelombang UTBK sebelum aku memutuskan menunda kuliah.
Aku mengikuti SBMPTN yang menerapkan sistem baru di tahun itu. Kami mengikuti tes UTBK terlebih dahulu. Dari sanalah nilai kami digunakan untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri yang kami inginkan. Kami bahkan punya dua kali kesempatan tes. Aku termasuk yang mengambil dua kali kesempatan tersebut karena aku tidak percaya diri dengan kemampuanku sendiri.
Aku diterima di Sastra Jepang. Entah itu kabar gembira karena ternyata dengan segala keterbatasanku, aku bisa lulus. Atau itu adalah kabar buruk karena meskipun aku lulus, aku harus melepaskan kesempatan itu. Jujur aku tidak tahu apakah tahun depan masih bisa mendapatkan keberuntungan yang sama atau tidak. Keberuntungan di segala aspek. Aspek ujian dan aspek biaya tentunya.
Saat menatap layar laptop milik Agung yang menyatakan kelulusanku, bohong jika aku tidak merasa sedih. Aku bahkan memberanikan diri membayangkan binar-binar kebahagiaan dan kebanggaan di mata Bapak. Hanya Bapak. Ibu lebih sulit diprediksi. Karena mungkin baginya Sastra Jepang tidak lebih bagus daripada Teknik Sipil, fakultas Kak Tata
Bapak, Ibu, dan Kak Tata tidak tahu tentang Sastra Jepang ini. Sistem penerimaan menjadi mahasiswa di zamanku dan zaman kakakku, berbeda. Dia tahunya aku tidak ikut SBMPTN. Yang tahu hanya Dian dan Agung. Mereka berjanji untuk tidak mengabari orang rumah, terutama Bapak, setelah aku berkata akan bunuh diri jika mereka sampai tahu.
Mereka sebenarnya tidak percaya aku akan benar-benar bunuh diri. Kurasa mereka melakukannya demi Bapak. Sama sepertiku, mereka juga tidak ingin Bapak merasa lebih bersalah lagi.
Dian diterima di Fakultas Kedokteran sedangkan Agung di Fakultas Hukum. Agung menghiburku dengan mengatakan jika bisa lulus tahun depan, aku kemungkinan diwisuda lebih dahulu daripada Dian. Kata Agung sekolah untuk jadi dokter butuh waktu lebih lama. Jadi aku masih bisa menyusul.
“Aku nanya sekali lagi, nih, Run. Kamu enggak mau egois gitu, kali ini aja?” tanya Agung.
Di sebelahnya, Dian mengangguk membenarkan.
“Walaupun Tante jelas tim Tata, kurasa kali ini mau tidak mau Tante harus mengorbankan anak kesayangannya. Dilihat dari mana pun, kuliah jelas lebih penting daripada pernikahan. Maksudku, tahun depan, kan, belum tentu kamu bisa lulus, Run.”
“Hem, anak ini, optimistis sekali!” Agung menepuk lengan Dian.
Aku tertawa. Tidak tersinggung dengan kalimat Dian barusan karena aku pun menyadari maksudnya. Tidak ada yang bisa memprediksi akan seperti apa keberuntunganku tahun depan. Iya, itu aku anggap keberuntungan.
“Enggak apa-apa, Gung. Dian bener, kok. Siapa yang bisa menjamin kalau tahun depan hasilnya bakal sama?”
Dian memonyongkan mulutnya ke arah Agung. “Terus gimana kalau bener tahun depan kamu enggak lulus?” tanya Dian.
“Astaga Ian! Pakai diulang lagi. Malaikat lewat, terus diaminin, kasian Runi!” omel Agung.
“Malaikat juga lihat-lihat kali, enggak main ngaminin seenaknya!” omel Dian balik.
“Yaa, berarti memang udah jalannya begitu.” Aku berkata begitu sambil menyingkirkan bayangan ketidaklulusan di tahun depan.
Aku sudah bilang, kan, aku dengan mudah bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan (terburuk) dari satu pilihan. Itu salah satu kelebihanku.
“Ambil kursus bahasa Jepang aja, Run,” usul Agung.
“Nah, aku juga setuju. Itu semacam energi positif, doa secara tidak langsung,” timpal Dian.