Setiap Sabtu sore dan Minggu pagi (kadang-kadang bila tidak terlalu capai, Minggu sore juga) aku melakukan to do list nomor tigaku (eh, atau empat, ya?) untuk proyek Bizarre. Target utamaku adalah Pantai Losari. Aku berpindah-pindah. Paling sering di landmark tulisan Pantai Losari dengan latar belakang Masjid 99 Kubah, beberapa kali di dekat Masjid Amirul Mukminin.
Aku menghindari taman kota karena selain nyaris tidak ada yang memperhatikan keberadaanku, di sana juga nyamuknya sangat “bersahabat”. Lebih banyak nyamuk yang mengakrabi dibandingkan spesiesku sendiri. Aku khawatir, targetku tidak tercapai, tetapi aku sudah keburu masuk rumah sakit karena demam berdarah.
Sabtu sore targetku adalah muda-mudi yang hendak menghabiskan malam Minggu dengan pasangannya masing-masing. Aku sempat ragu apakah orang yang sedang asyik dengan kekasihnya masih memiliki waktu melirik perempuan dengan buku-buku di keranjang sepedanya. Nyatanya, keraguanku tidak beralasan. Banyak dari mereka yang kemudian mendatangi Bizarre bahkan menjadi anggota tetapnya.
Aku tidak tahu mereka menghampiriku karena memang tertarik dengan buku yang aku bawa, sekadar ingin tahu, atau karena iba. Yang mana saja tidak penting karena begitu ada satu dua orang mendekat dan bertanya, orang-orang yang lain akan ikut datang. Entah hanya menguping atau ikut bertanya-tanya.
Yang membuatku terharu adalah ketika aku kelelahan setelah bazar seni lalu absen selama dua hari, ada yang sampai mendatangi Bizarre dan bertanya mengapa aku tidak memangkal. Hal itu yang membuatku tetap mengayuh sepeda, memarkirkannya di tempat biasa, menjajarkan buku-buku, dan menunggu mereka yang ingin meminjam baca di tempat.
Hari Sabtu sore, aku membawa novel percintaan atau buku puisi cinta karena pasarnya jelas, mereka yang sedang berpacaran. Aku senang melihat para pria membacakan puisi romantis untuk pasangannya lalu sang perempuan akan tersenyum malu.
Minggu pagi lain lagi, aku menyasar anak-anak dan keluarga. Aku membawa buku anak bergambar dan menyisipkan “racun” berupa buku dengan stempel peraih penghargaan Caldecott. Gambarnya yang bagus, bahasa Inggrisnya yang sederhana karena dibuat untuk konsumsi anak, jelas merupakan magnet untuk pembaca cilik. Iming-iming peraih penghargaan aku pakai untuk para ibu tentunya.
Apakah berhasil? Pasti! Ibu-ibu kekinian mana yang tidak ingin dianggap melek literasi dan peduli terhadap hobi baca anak. Itu belum termasuk kebanggaan saat bisa menjajarkan buku-buku anak terbaik dalam bahasa Inggris lalu memamerkan koleksinya di media sosial.
Terkadang aku merasa sedikit bersalah karena memanfaatkan kelemahan manusia yang dua itu. Kebutuhan akan pengakuan dan hasrat pamer. Namun, kutepis, lantas membela diriku di balik jargon mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain untuk kepentingan Bizarre, aktivitas membuka lapak baca di tempat itu juga menyelamatkanku dari kesibukan acara lamaran dan persiapan pernikahan Kak Tata. Acara lamarannya dilangsungkan di bulan Juni dan pernikahannya akan dihelat pada bulan Oktober.
Mungkin aku adalah adik yang tidak baik. Namun, sungguh, mendengar Ibu dan Kak Tata terus menerus membahas gedung, bentuk undangan, warna dan model kebaya, suvenir ucapan terima kasih, makanan, dan entah apa lagi, membuatku lelah. Aku lelah hanya dengan mendengarnya saja. Padahal aku tidak dilibatkan sama sekali. Walaupun menurutku juga tidak perlu, toh, itu bukan acaraku.
Ibu dan Kak Tata membentuk panitia untuk acara pernikahan. Namaku tidak ada di dalamnya meskipun hanya sekadar formalitas. Maksudku, aku bisa, kok, diberdayakan untuk mengemas suvenir misalnya. Atau mengantar undangan. Atau apalah. Tadinya aku pikir hal itu karena aku masih dianggap anak kecil. Namun, di daftar panitia ada beberapa nama sepupu dari pihak Ibu yang usianya lebih muda dariku. Jadi aku memutuskan untuk menunggu saja.
Aku mungkin bisa bertanya dan menawarkan bantuan apa yang bisa kuberikan. Namun, sekian lama diperlakukan seperti sesuatu yang tak kasatmata, membuatku urung melakukannya. Aku berjanji kepada diriku sendiri akan dengan sigap membantu bila diminta. Ibu atau Kak Tata hanya perlu meminta, tetapi mereka tidak pernah melakukannya.
Dalam rangka menghindar itulah, jika tidak sedang di Bizarre menemani Bapak, aku akan mengayuh sepedaku dengan beberapa buku di keranjang belakangnya. Tadinya hanya dua hari dalam seminggu, tetapi sejak akhir Agustus, aku berkeliling hampir setiap hari.
Di satu Jumat awal September, aku sedang duduk menikmati sore di Pantai Losari ditemani segerombolan anak-anak yang membaca Tintin, ketika aku melihatnya. Gadis kecil berpipi tembam dengan mata bulat cerahnya. Dia memandangiku dari tempatnya berdiri, sekitar tiga meter jauhnya, sambil menggigit kuku jari telunjuk kanannya.
Sepertinya dia penasaran apa yang membuat anak-anak merubungku. Aku menaksir usianya sekitar lima tahun. Enam tahun paling tua. Rambut keriwilnya dibiarkan awut-awutan ditiup angin. Dia memakai baju kaus bola lengkap dengan celananya. Membuatnya terlihat keren di mataku. Sebagian anak perempuan kecil mungkin akan memilih baju terusan bermotif bunga-bunga atau yang sejenisnya.