Setelah akal sehatku yang tercerai-berai karena tiba-tiba dituduh sebagai penculik anak, kembali utuh, aku membela diriku. Enak saja laki-laki ini menuduhku seenaknya. Buat apa aku menculik anak-anak? Kalau saja dia tahu, aku mengurus dan membiayai satu kehidupan saja sudah menyusahkan. Aku tidak butuh tambahan satu anak kecil.
“Bapak jangan sembarangan, ya! Saya perempuan baik-baik.” Aku berusaha menekankan fakta bahwa aku memang perempuan baik-baik tanpa perlu histeris di depannya.
“Kalau begitu untuk apa Anda memegang anak saya?” Dia menyerahkan Kirana ke tangan seorang perempuan yang mengenakan kerudung hitam.
“Sejak kapan megang anak-anak dianggap lagi nyulik? Kalau saya niat mau nyulik, Bapak tidak akan nemuin saya di sini lagi duduk sambil ngebacain buku! Ada juga harusnya saya yang curiga jangan-jangan Bapak penculiknya.”
“Anda jangan sembarangan tuduh, ya!”
Aku mengabaikan kalimatnya barusan dan bertanya kepada Kirana. Dia tidak terima dituduh sembarangan, tetapi kurang dari satu menit sebelumnya, dia melakukan hal yang sama persis. “Kirana kenal Om ini?”
“Ini Papa.”
Aku ingin sekali melemparkan buku ke arah wajah laki-laki yang memasang tampang jemawa saat Kirana memastikan bahwa dia benar papanya. Luka di kening laki-laki itu pastinya akan mengurangi kekesalanku.
“Kakak jangan dimalahi, Pa. Kakak baik banget. Tadi Kilana dibagi ail minum. Dibacain buku juga.”
“Hah!” Giliranku mengangkat dagu sambil memberikan wajah “Tuh, anakmu saja bilang aku baik!”.
“Kak Runi bukan penculik, Om. Tadi adiknya yang nyamper.” Salah seorang anak yang telah beberapa kali meminjam bukuku, membela.
“Iya, Om. Kak Runi biasa di sini. Semua orang kenal,” ucap seorang anak yang lain lagi.
Aku bersedekap. Laki-laki itu lantas mengulurkan tangannya.
“Maafkan saya kalau begitu. Tadi saya panik. Hampir sejam Kirana hilang,” ucapnya.
Ada sesuatu di dalam kalimatnya yang menghapus kekesalanku begitu saja. Pada dasarnya aku memang mudah luluh dan lumer. Aku mungkin tidak punya anak, tetapi aku bisa paham bagaimana rasanya kehilangan buah hati.
Aku menyambut tangannya dan mengangguk singkat.
“Oh, iya, terima kasih banyak, Dik Runi. Runi, kan? Sekali lagi maafkan saya.” Aku mengangguk membenarkan.
“Kakak, haus lagi,” celetuk Kirana sambil menunjuk botol minum kuningku.
Aku meraih botolku sambil menatap papanya Kirana, meminta persetujuannya. “Ini belum saya minum dari tadi, kok.
Ya, siapa tahu dia keberatan anaknya minum dari botol orang asing. Walaupun dia tahu Kirana sudah sempat minum dari botol yang sama dan meskipun sore itu aku belum menyentuhnya, aku jelas sudah memakainya di hari-hari yang lalu.
Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum. Dia mengambil botol di tanganku lalu memberikannya kepada Kirana. Setelahnya dia duduk di tempatku tadi membacakan buku untuk Kirana. Untuk alasan sopan santun aku duduk di sebelahnya. Kirana sendiri, bermain ditemani perempuan berkerudung hitam yang ternyata adalah Mbak Ratih, pengasuhnya.
Lelaki itu, aku belum tahu namanya (aku tidak berani bertanya juga), sedang dalam perjalanan bisnis. Aku tidak bertanya bisnis apa karena, hey, namanya saja tidak berani aku tanyakan, apalagi hal setidak penting tentang bidang bisnisnya.
Dia membawa putri semata wayangnya, Kirana. Tadi itu pengasuhnya sedang salat Asar di Masjid 99 Kubah sewaktu Kirana menghilang. Aku terpana. Jarak dari masjid itu ke tempatku lumayan jauh untuk anak sekecil Kirana. Sekitar 1 kilometer lebih. Apalagi posisinya agak memutar.