Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #13

Bab 13 Semua Juga Berkorban



Kak Tata menikah hari Sabtu pagi di awal bulan Oktober 2019. Jumat malam, satu hari sebelumnya, aku tidur di Bizarre. Kubawa seragam untuk akad nikah ke sana dengan Dian menemaniku.

Aku bukan sedang dalam rangka protes karena uang kuliahku dipakai untuk pesta pernikahan Kak Tata. Bukan juga karena namaku sama sekali tidak dimasukkan ke dalam susunan panitia pernikahan. Namun, karena apa yang terjadi sekitar satu bulan sebelum hari pernikahan Kak Tata

Malam itu, Bapak, Ibu, dan aku sedang makan malam. Kak Tata sedang keluar bersama calon suaminya, si anu (ini bahasa Agung, lho). Makan malam yang awalnya penuh dengan kebahagiaan karena aku dan Bapak membahas perbaikan pemasukan untuk Bizarre serta usaha sampingan berjualan buku kami yang sukses besar, harus berakhir dengan Bapak yang terluka dan aku yang bertengkar dengan Kak Tata, setelah sebelumnya berdebat dengan Ibu.

Hari itu Bizarre kami tutup sebelum pukul enam sore. Itu permintaan Bapak karena ingin makan malam dengan masakan buatanku. Aku setuju karena pemasukan hari itu sudah melewati target harian yang aku buat. Aku tidak ingin terlalu jauh dari rancangan yang aku patok, aku belum siap banyak uang dan jadi sultan. Khawatir jadi hedonistik.

Makanan kesukaan Bapak adalah sayur asem, tempe goreng, ikan asin, dan sambal terasi. Jika ingin membuat Bapak gemuk, sajikan masakan itu saja setiap hari. Entah karena terlalu menyayangi Bapak atau karena masakan tersebut terlalu sering disajikan di meja sejak aku kecil (sehingga aku menjadi terbiasa), masakan tersebut juga merupakan kesukaanku.

Padahal dahulu awal-awal aku sempat tidak suka sayur asem. Aku berpikir apa enaknya sayur asem. Dalam pikiranku rasa sayur seharusnya gurih, bukan asem. Sayur lain dibiarkan sehari semalam setelah dimasak juga akan “asem” sendiri, kan?

“Coba dimakan dulu. Tidak baik menolak makanan padahal dicoba saja belum,” kata Bapak waktu itu.

“Jadi setelah dicoba, boleh ditolak, ya, Pak?” tanyaku keras kepala.

Pada akhirnya aku mencicipi sayur yang selalu aku hina-hina itu. Entah memang rasanya yang enak (sebagai informasi, sayur asem waktu itu Ibu beli di warung nasi) atau Tuhan hanya sedang ingn bercanda denganku, indra pengecapku merespons semua rasa dan struktur sayuran di dalamnya. Astaga! Itu bahkan lebih enak daripada sop kacang merah favoritku!

Tidak butuh waktu lama untuk menyiapkan makan malam kami karena Bapak membantuku memotong sayur. Ibu sibuk dengan entah apa persiapan nikah Kak Tata. Bapak tidak henti-hentinya memuji masakanku. Aku tahu rasanya memang enak. Ya, keterlaluan saja kalau menu sesederhana itu saja aku gagal. Namun, malam itu Bapak memang bolak-balik memuji di antara pembicaraan kami tentang Bizarre. Mungkin Bapak bosan dengan makanan yang dibeli di warung karena sejak sibuk mengurus Kak Tata, Ibu jadi jarang masak. Sedangkan aku juga sibuk menunggui Bizarre.

Tahu-tahu di tengah kami bersantap, Ibu mengatakan sesuatu membuatku tidak ragu berpikir bahwa itu bukan ide Ibu melainkan permintaan Kak Tata. Kebetulan saja momennya pas, saat kami sedang membahas Bizarre.

“Pak, mulai sekarang sudah harus berhenti meminta Tata membantu kebutuhan kita. Kasihan dia tidak bisa menabung.”

Setelah lulus kuliah, Kak Tata langsung diterima bekerja di salah satu perusahaan konstruksi swasta. Gajinya lumayan. Tanpa diminta, kakakku satu-satunya itu membantu perekonomian keluarga. Aku garis bawahi, ya, tanpa diminta. Itu keinginannya sendiri.

Kak Tata sudah bekerja sekitar tiga tahun. Menurutku, harusnya jumlah tabungannya (itu kalau dia menyisihkannya setiap bulan, ya) sudah lumayan. Dengan alasan membantu keluarga sehingga Kak Tata tidak punya tabungan, rasanya terlalu berlebihan.

Aku saja yang hanya berjualan buku (Bapak mati-matian memintaku menabung dan menyimpan semua keuntungan dari penjualan buku), dengan pendapatan yang tidak tentu, masih bisa menyisihkan sebagian untuk biaya kuliah. Sebagiannya lagi aku pakai untuk mengisi lemari es dengan sayur, membeli lauk, dan membeli kebutuhan rumah seperti sabun mandi, pasta gigi, dan yang sejenisnya.

Tentu saja aku melakukannya tanpa ketahuan Bapak. Bapak tahunya semua aku simpan untuk biaya kuliah.

Memang baru beberapa bulan aku melakukan itu sedangkan Kak Tata sudah melakukannya bertahun-tahun. Namun, pemikiran sederhanaku langsung mengalkulasi, yang membuatku berpikir bahwa sebenarnya aku tidak bodoh-bodoh banget urusan hitung-hitungan.

Kak Tata tidak seharusnya mengeluh tentang membantu Bapak dan Ibu. Toh, untuk pernikahannya, Bapak tetap membiayai, kok. Yaaa, meskipun itu memang tugas orang tua.

Aku kalau mau mengeluh juga bisa. Sejak kecil aku sudah bekerja membantu Bapak di Bizarre. Beberapa kali bahkan aku menunggui Bizarre sendirian. Ketika Bapak sakit tifus dan harus beristirahat dua minggu penuh, misalnya. Itu kalau aku dihitung karyawan, berapa banyak sudah keringatku yang menggerakkan roda perekonomian keluarga kami? Apa pernah aku sibuk hitung-hitungan? Tidak pernah. Kepikiran saja tidak. Kecuali, ehm, baru saja. Itu pun karena Kak Tata, ya.

Bapak hanya menjawab iya saja untuk kalimat Ibu barusan. Pendek, tetapi aku tahu itu menyakiti hatinya. Aku boleh sombong jika aku berkata bisa memahami suasana hati Bapak hanya dari perubahan suara dan gestur badannya. Jika malam itu Ibu jengkel melihat kami berdua asyik mengobrol sedangkan dia tidak bisa ikut terlibat, lalu mencari cara menghancurkan kebahagiaan kami, beliau berhasil.

Lihat selengkapnya