Setelah pertengkaran dengan Kak Tata tiga malam sebelumnya, kakak perempuanku itu mendiamkanku. Sepanjang yang kuingat, ini pertama kalinya kami bisa dianggap bertengkar. Selama ini, kami tidak pernah sampai ke tahap saling berbalas kalimat dengan suara tinggi dan memasukkan bumbu kemarahan sebagai cara berkomunikasi. Bukan karena kami akur, tetapi karena aku tahu tidak akan pernah menang saat berhadapan dengannya.
Jika hubunganku dengan Kak Tata diibaratkan perang, aku bukannya tidak pernah mengecap kemenangan sama sekali. Kesempurnaan Kak Tata membuatku harus dengan cermat memilih medan pertempuran yang aku tahu bisa aku menangi. Memang hanya kemenangan kecil dan dan tidak penting. Seringnya tidak terdeteksi oleh radar Kak Tata sehingga tidak mengancam eksistensinya sama sekali. Kalaupun kemenangan kecilku mengusik Kak Tata, dia selalu punya Ibu sebagai sekutunya.
Ibu juga mendiamkanku. Aku sepenuhnya yakin Kak Tata penyebabnya. Entah apa yang kakakku itu katakan kepada Ibu. Aku jelas tidak bisa mengandalkan kemurahan hatinya untuk tidak menyudutkanku habis-habisan. Aku tidak memberi tahu Bapak pertengkaranku dengan Kak Tata malam itu sekadar untuk mencari dukungan. Aku bukan pengadu. Lagi pula apa yang akan aku dapatkan jika aku melakukan itu?
Aku jelas tidak bisa berharap Bapak akan mendiamkan Kak Tata seperti Ibu mendiamkanku. Bapak bukan Ibu yang selalu menunjukkan keberpihakannya ke salah satu anak dengan cara kekanak-kanakan. Aku tidak bilang Bapak tidak berpihak, ya. Tidak butuh kecerdasan tinggi untuk tahu bahwa Bapak adalah tim Runi. Namun, beliau menunjukkannya dalam porsi yang sepantasnya. Tidak seperti Ibu, yang ... yah, kalian seharusnya tahu dan tidak perlu dijelaskan lagi jika sudah membaca kisahku sejauh ini.
Telepon selulerku berbunyi. Panggilan video call dari ponsel Mbak Ratri. Sejak memberikan nomor teleponku kepada Pak Jati, Mbak Ratri secara rutin menghubungiku atas permintaan Kirana. Terkadang untuk memperlihatkan gambar atau mainan baru bocah berpipi tembam itu. Seringnya untuk meminta dibacakan cerita dan membujuk Kirana makan.
Aku sungguh tidak memahami mengapa Kirana bisa dengan mudah menuruti semua permintaanku dibandingkan permintaan Mbak Ratri bahkan papanya sendiri.
Aku menggeser layar ponsel untuk menerima panggilan. Wajah menggemaskan Kirana memenuhi layar ponselku. “Halo anak cantik.”
“Lagi enggak cantik, Kak Runi. Dari tadi kerjaannya main melulu. Enggak mau mandi.” Suara Mbak Ratri terdengar meskipun orangnya tidak tampak.
“Lho, kenapa Kirana enggak mau mandi?” tanyaku.
“Enggak mau makan juga, Kak Runi.” Kembali Mbak Ratri mengadu.
“Kilana lagi malas. Kilana capek,” jawabnya dengan nada serius yang membuatku terpaksa menahan tawaku.
Aku ingin dia menganggap dirinya setara denganku dalam percakapan, sungguh-sungguh mendengar keluhannya dan bukannya berpikir dia hanya anak-anak yang tidak penting. Aku belajar hal ini dari Bapak. Bagaimana dahulu beliau selalu mendengarkan pendapatku seremeh apa pun itu. Setelah aku cukup dewasa untuk paham, aku sadar Bapak melakukan itu untuk membangun kepercayaan diriku yang sebelumnya telah diluluhlantakkan oleh Ibu. Agar aku merasa dihargai dan yakin bahwa diriku berharga.
“Kirana lebih ngerasain malas atau capek?” Aku bertanya lagi.
Kirana memajukan bibir bawahnya, dia tampak sedang menimbang apa yang paling dia rasakan.
“Hmm ... capek?” Kirana seperti bertanya dan ingin memastikan perasaannya. Aku mati-matian memasang wajah datar.
“Kenapa Kirana capek mandi atau makan, tapi enggak capek kalau main, ya? Kan sama-sama bergerak.” Aku pura-pura berpikir keras.