“Buru Runi, astaga, kamu itu adiknya pengantin. Bukan tamu.” Dian menarikku dari tempat tidur untuk segera mandi.
Padahal baru pukul lima. Aku sudah salat Subuh, tetapi entah mengapa aku tidak bersemangat. Sejak bertengkar dengan Kak Tata malam itu, aku belum berbicara lagi dengannya. Ya, agak susah juga, sih, karena aku memilih untuk bermalam di Bizarre saja. Aku hanya pulang ke rumah saat acara pengajian sehari sebelum akad nikah. Aku pulang sebentar demi formalitas keutuhan keluarga juga karena Bapak memintaku untuk mengikuti seluruh prosesinya.
“Ian, kamu, kan, tamu. Aku bisa ngikut kamu aja enggak?” Aku mencoba menawar dan membujuk
“Enggak!” jawab Dian galak.
“Please.” Aku menangkupkan kedua tanganku di depan wajah. Aku memohon.
“Runi, aku tahu Kak Tata super menyebalkan. Aku tidak akan mendebatmu untuk yang satu itu. Tapi tolong. Ini tuh acara pernikahan kakakmu. Kalau kamu punya dua puluh kakak, lalu menolak datang pagi ini, silakan. Tapi kakakmu hanya satu. Coba kalau kamu jadi dia, kamu nikah, lantas dia enggak hadir. Gimana perasaanmu? Ayolah! Dewasa sedikit, kita ini bentar lagi sembilan belas tahun, lho. Kamu kabur ke sini sementara di rumah ada banyak keluarga dari kampung aja, sudah pasti jadi bahan omongan.” Dian menceramahiku panjang lebar.
“Aku ke sini, kan, justru karena di rumah banyak keluarga. Tempat tidurnya enggak muat.” Aku berkilah.
Dian hanya memandangku. Tidak berkata-kata lagi. Namun, justru dengan begitu aku tahu dia serius dengan permintaannya. Aku rasa aku memang sedikit keterlaluan.
“Iya, iya. Aku mandi sekarang. Bawel!”
Dian tersenyum sambil berkata, “Gitu, dong. Enggak pakai lama, ya. Kita harus dandan sedikit.”
Pukul enam kurang sedikit, Agung sudah duduk manis menunggu kami berdua selesai berdandan. Aku menolak memakai riasan apa pun selain pelembab bibir dan polesan bedak tipis. Aku menampik segala alat-alat penyiksa daerah mata, alis, dan sekitarnya.
Aku mungkin sayang dan menuruti segala yang Dian minta pagi itu. Namun, aku tidak pernah akur dan berjodoh dengan segala bentuk alat rias wajah. Di mataku dan di depan cermin (mungkin juga di mata orang-orang), aku yang berdandan hanya beda satu level dengan boneka lenong.
Dengan wajah polos saja aku tidak pernah percaya diri, apalagi dengan segala benda asing yang ditempel paksa. Tidak, aku menolak ditertawakan orang hari itu.
Setelah beberapa menit, Dian akhirnya menyerah memaksaku berdandan. Persisnya setelah aku mengancam untuk tidak jadi datang saja sekalian. Kalau melihat kami berdua, Dian yang lebih pantas jadi adik pengantin. Dandanannya heboh, rambutnya ditata rapi, dan dia bahkan memakai sepatu dengan hak yang sudah pasti akan membuatku terjerembap di langkah pertamaku.
Saat menatap ke dalam cermin, aku cukup puas dengan penampakanku hari itu. Harusnya Dian tidak perlu mengeluh. Pakaianku jelas berbeda. Penampilanku juga. Oleh Dian, rambutku dibentuk sanggul yang jauh lebih rapi dan lebih indah bila dibandingkan cepol yang biasa aku buat secara asal. Bedak jelas membuat perbedaan besar di kulit eksotisku.
Aku, Dian, dan Agung kemudian berangkat menuju hotel tempat acara Kak Tata digelar.
Aku mungkin masih sebal terhadap Kak Tata. Namun, aku harus jujur, dia adalah pengantin perempuan paling cantik dan anggun yang pernah aku lihat. Hasil riasannya jelas sepadan dengan uang yang dikeluarkan Bapak. Aku juga bingung menjelaskannya.
Intinya begini, di hari biasa Kak Tata pada dasarnya sudah sangat cantik, tetapi pagi itu, dia bercahaya. Di hari biasa saja, berada di sebelah Kak Tata akan menenggelamkan kilau apa pun yang kamu miliki. Apalagi di hari pernikahannya.
Akad nikah berlangsung lancar dan khidmat. Andi mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Tidak, aku sama sekali tidak berdoa agar di tengah ijab Andi tahu-tahu lupa atau terbata-bata. Aku tidak sejahat itu.
Resepsi pernikahan Kak Tata dilanjutkan siang itu juga. Kalau menurut Ibu, biar lelahnya sekalian. Bicara tentang Ibu, beliau masih sempat-sempatnya mengomentari sepatu beralas datar yang kukenakan dan tas selempang kecil yang kugunakan untuk menyimpan ponselku.
“Run, bisa tidak, sehari ini saja, nurut sama Ibu. Simpan tasmu. Tidak bagus kelihatannya.”