Sesuai dugaanku, Ibu tidak membuang waktu lebih lama untuk bertanya tentang Pak Jati dan Kirana. Selepas Isya, kami berlima: Bapak, Ibu, Kak Tata, Andi, dan aku, memulai membuka satu per satu amplop yang dibawa oleh para tamu, lalu mendata nama serta nominal isi amplopnya. Aku pribadi merasa bahwa hal ini adalah pekerjaan yang tidak penting. Namun, aku bisa memahami maksudnya.
Amplop-amplop itu adalah “utang” yang harus ditebus saat si pemilik amplop mengadakan acara serupa. Paling tidak kami nantinya sudah memiliki standar minimal harus mengisi berapa amplop balasannya. Sekali lagi, tidak penting, tetapi masuk akal.
Pada dasarnya hanya aku, Kak Tata, dan Ibu yang bekerja malam itu. Kak Tata dan Ibu membuka amplop dan bergantian menyebutkan nama serta jumlah. Sebagai yang paling muda, aku yang bertugas mencatat.
“Ini dari temanmu, kan, Run?” Ibu mengacungkan amplop berwarna merah yang terlihat tebal.
Itu adalah pertanyaan retorik. Aku kenal ibuku. Guci untuk memasukkan angpau letaknya persis di sebelah kursi Ibu. Beliau sudah pasti memperhatikan sewaktu Pak Jati memasukkannya tadi. Jadi aku hanya mengangguk.
“Wuih, isinya seratusan ribu semua!” Ibu terdengar kaget. Aku pun begitu. Ibu menyerahkan amplopnya kepada Kak Tata untuk dihitung.
“Lima juta!” Kak Tata berseru.
Empat pasang mata kini menatapku. Mengapa jadi aku yang harus menjelaskan apa pun arti tatapan mata mereka? Yang mengisi amplop merah itu, kan, Pak Jati.
“Siapa dia?” Ibu bertanya.
“Ibu sudah kenalan, kan, tadi?”
“Ibu tidak nanya namanya. Ibu nanya siapa dia?”
“Teman Runi, Bu.”
“Teman apa? Ibu tahunya temanmu hanya Dian sama Agung. Teman baru? Kenapa kamu berteman sama orang yang lebih tua? Sudah punya anak lagi. Tidak ada teman yang ngasih angpau sebesar ini.” Ibu langsung memberondong.
“Kalau Ibu keberatan sama isi amplopnya, nanti Runi kembaliin.”
“Runi! Kamu ini selalu, deh. Ditanya apa jawabnya apa.”
“Ya, Ibu juga aneh. Masa berteman sama orang ada batasan umurnya?”
“Runi itu dapat banyak teman dari acara bazar yang tempo hari, Bu. Mahasiswa, dosen. Mereka jelas orang-orang yang lebih tua dari Runi. Memang masalahnya apa?” bela Bapak.
“Maksud Ibu itu gini, Pak. Jangan sampai Runi berteman sama orang yang salah,” ujar Kak Tata.
“Memangnya Runi pernah salah berteman? Dulu juga Runi berteman dengan Kak Andi yang jelas-jelas lebih tua dari Runi. Pemilik ruko di blok Bizarre juga bapak-bapak semua. Lebih tua lagi. Mereka semua teman Runi.” Aku mulai kesal dengan keseluruhan percakapan tidak penting ini.
“Lho, ya, Nak Andi beda, dong. Dia belum punya anak.”
“Bu, sejak kapan punya anak bikin seseorang jadi orang yang salah dan harus diwaspadai?” Nada suaraku sudah mulai meninggi.
“Ibu tidak mau kamu salah bergaul. Ibu tidak setuju kamu dekat sama laki-laki yang sudah menikah. Nanti kamu dianggap pelakor. Jadi selingkuhan suami orang.”