Air mataku masih belum berhenti menetes saat telepon selulerku yang ada di sebelah komputer berbunyi. Pak Jati. Aku buru-buru menghapus air mata di wajahku, yang lalu aku sadari adalah tindakan yang konyol. Itu hanya panggilan telepon biasa dan bukan video call. Pak Jati tidak akan bisa melihat air mataku dan tahu aku sedang menangis.
Baiklah, dia mungkin bisa mengetahui perubahan dalam suaraku. Namun, selalu ada alasan sedang radang tenggorokan atau flu sebagai kamuflasenya.
“Ya, halo.”
“Sekarang sudah cukup lama belum untuk masuk ke Bizarre dan pura-pura tidak tahu kalau alasan di balik air mata itu adalah laki-laki yang keluar beberapa menit yang lalu?”
Aku mengangkat wajahku dan menatap pintu masuk. Pak Jati berdiri di sana. Tangan kanannya memegang ponsel yang menempel di telinga dan tangan kirinya melambai ke arahku. Dia tersenyum tipis.
Lupakan radang tenggorokan dan flu. Lupakan tentang tidak ingin ketahuan sedang menangis. Aku meletakkan ponselku dan menangis terisak-isak. Pak Jati menutup panggilannya. Dia kemudian melangkah memasuki Bizarre dan duduk di sofa merah dekat pintu. Dia tidak berkata sepatah pun. Hanya duduk menunggu.
Aku berdiri dan melangkah ke kamar mandi untuk mencuci wajahku.
Pak Jati duduk sambil menyilangkan kakinya, tangan kanannya diletakkan di bagian atas sandaran sofa. Aku duduk di sebelah kanannya.
“Bapak daripada sering ke sini, tapi enggak bisa nyewa buku, mending daftar sekarang, deh.” Aku berusaha bercanda karena aku yakin sedikit saja pembahasan mengenai kejadian pagi itu pasti akan membuatku kembali menangis.
“Oh, iya. Boleh. Syaratnya apa?”
“Fotokopi KTP sama bayar iuran 50 ribu.”
“Saya adanya KTP asli saja. Fotokopinya bisa menyusul?”
“Hmm, harusnya sih tidak bisa. Tapi untuk Bapak bolehlah. Hitung-hitung penglaris pagi-pagi.” Aku berdiri menuju meja panjang. Pak Jati ikut berdiri dan berdiri di seberang meja, mengeluarkan KTP dan selembar uang lima puluh ribu lalu meletakkannya di atas meja.
“Wah, tulisan yang di pintu barusan saya balik jadi ‘tutup’ supaya mata Runi bisa susut dulu bengkaknya. Dianggap penglaris saya jadi enggak enak, nih.”
Aku menatap ke arah pintu. Tulisannya memang sudah dibalik. Aku kembali menangis karena perbuatan kecil Pak Jati.
“Silakan Bapak isi ini dulu. Uangnya saya terima, ya.” Aku menyodorkan bolpoin dan selembar kertas untuk diisi oleh anggota baru Bizarre sambil menghapus air mataku dengan lengan bajuku.
Setelah selesai mengisi formulir anggota barunya, Pak Jati menatapku tanpa berkata apa-apa. Aku berusaha menerka sorot mata apa yang berusaha dia tunjukkan. Apa pun itu, aku tidak merasa sedang dikasihani. Aku hanya merasa sedang diberi tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Bapak sudah boleh pinjam buku sekarang. Maksimal tiga, ya. Soalnya Bapak anggota baru.”
Pak Jati berkedip lalu menoleh ke arah rak buku di sebelah kanannya. “Ada rekomendasi?”
“Bapak suka baca buku apa?”
“Apa saja boleh.”
“Mau yang bahasa Inggris atau terjemahan?”
“Terserah Runi.”
“Oke, bagaimana kalau buku penulis yang namanya sama kayak Runi?” Aku membawanya ke rak dengan deretan penulis berawalan huruf C.
“Aha, Chitra Banerjee Divakaruni. Dari situ rupanya.” Pak Jati mengangguk-angguk sambil mengambil buku yang berjudul Mistress of Spices yang berbahasa Inggris.
“Iya, tapi minus Bhanerjee.”
“Saya sudah pernah bilang belum, ya, kalau Kirana lagi sedih atau habis mimpi buruk, dia selalu bisa tenang kalau bersandar di sini.” Pak Jati menepuk dadanya. Dia mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius. Aku terdiam beberapa detik.
“Bapak lagi nawarin dada ini ceritanya?” Aku bertanya dengan suara tersekat. Lelaki di hadapanku tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih, Pak. Tapi kayaknya saya lebih butuh telinga.”
Pak Jati melangkah mendekati sofa merah lalu duduk di ujung sofa yang dekat dengan pintu masuk. Aku duduk di ujung yang satunya lagi. Kedua kakiku kunaikkan ke atas sofa dan duduk bersila.
“Tadi itu Kak Andi. Orang yang dulu pernah dekat sama saya, Pak. Kami ketemu di klub buku. Dulu itu, hampir tiap hari dia ke sini sepulang bekerja. Sabtu Minggu juga. Dia memang tidak pernah nembak langsung. Tapi dia pernah bilang jatuh cinta sama isi kepala saya. Bodohnya, itu saya anggap sama dengan pernyataan cinta. Maksud saya, isi kepala itu, kan, butuh kepalanya. Kepala itu satu paket sama badan sama semua-muanya. Jadi, ya, secara tidak langsung itu saya anggap sebagai pernyataan cinta. Bapak kenapa senyum?”
“Lagi mentertawakan laki-laki pengecut yang mempermainkan anak perempuan belasan tahun.”
“Oh, kirain ngetawain logika bodoh saya.” Aku menyengir.
“Sama membayangkan kepalamu jalan-jalan ke sana kemari tanpa badan.”
Aku memajukan bibir bawahku mendengar kalimatnya, “Satu hari, Kak Andi ke rumah. Kayaknya dia ke sini, tapi sayanya enggak ada. Lagi di rumah Dian. Nah, ketemulah dia sama Kak Tata. Singkat cerita Kak Andi tidak pernah lagi ke Bizarre, tidak pernah lagi kirim pesan WhatsApp, puncaknya Kak Tata sama Kak Andi jadian. Eh, bukan puncaknya, ding. Puncaknya mereka bakal nikah, nih, minggu depan.”
Aku menghela napas panjang, “Bapak udah kasihan sama saya belum?”
“Hmm, saya simpan untuk nanti, deh. Kayaknya ini masih pembukaannya. Bukan penyebab air mata yang tadi lihat dari pintu.”