Ritme hidupku kembali normal setelah pernikahan Kak Tata. Membuka Bizarre di pagi hari, menemani Bapak hingga setelah waktu Asar, mengayuh sepedaku ke Pantai Losari, kembali ke Bizarre menjelang Magrib, mengurus pesanan buku atau membuat tulisan di akun Gadislugu setelah makan malam, dan pulang ke rumah atau tidur di Bizarre selewat pukul sembilan atau sepuluh malam.
Pernikahan mengubah banyak hal. Bukan hanya pasangan yang menikah saja. Hidup orang-orang terdekat mereka pun ikut berubah. Setidaknya itu yang terjadi di keluargaku.
Kak Tata dan Kak Andi pindah ke rumah mereka seminggu setelah pernikahannya. Hal itu praktis membuat Ibu selalu sendirian di rumah. Sehingga Bapak tidak pernah lagi menginap di Bizarre. Mungkin hanya aku yang masih mengikuti rutinitas lamaku. Bahkan dengan begitu pun, hidupku tetap saja berubah.
Kalau dahulu sewaktu Bapak menemaniku tidur di Bizarre, kami bisa berbicara hingga larut malam. Kini, jangankan pembicaraan malam, mengobrol saat siang saja adalah sesuatu yang mewah. Kami selalu sibuk dan saat tidak sibuk, kami sudah terlalu lelah.
Oleh karena itu, ketika Bapak memberi tahu akan menginap di Bizarre bersamaku Sabtu pertama di bulan Desember, aku senang sekali. Walaupun aku bisa tahan tidak berinteraksi dengan manusia (hanya sebatas melayani pengunjung Bizarre, tentunya), aku jelas merasa kesepian tanpa percakapan-percakapan panjang dengan Bapak.
“Ibu enggak apa-apa di rumah sendirian, Pak?” tanyaku.
“Ibu menginap di tempat kakakmu. Makanya, kalau di rumah itu, ngobrollah sama ibumu. Jangan komunikasinya kalau berantem saja.”
Aku menyengir. “Bilangin Ibu nginapnya sampai Senin aja, Pak. Jangan satu malam. Biar kangen-kangenan sama anak kesayangannya.”
Sambil tertawa Bapak melambai-lambaikan tangannya menyuruhku pergi. Aku segera berlalu sambil membawa beberapa buku.
“Bapak ada, Run?”
Aku mengangkat wajahku dan mendapati Pak Yahya, pemilik toko tekstil di sebelah kanan Bizarre, dan Pak Bombom, pemilik warung mi ayam di sebelah toko Pak Yahya.
“Ada, Pak. Tuh, di dalam lagi ngopi.”
Kedua kawan dekat Bapak itu pamit ke dalam. Kurasa, mereka berdua merindukan saat-saat bermain kartu. Saat Bizarre sedang sering sekali sepi dahulu itu, mereka hampir setiap hari berkunjung ke Bizarre. Kecuali saat istri Pak Yahya datang menginspeksi toko mereka. Bizarre menjadi tempat mereka berkumpul karena toko Pak Yahya bisa dititipkan kepada karyawan kepercayaannya sedangkan Pak Bombom sudah sukses melakukan regenerasi. Anak tertuanya sudah bisa menggantikan di warung mi ayam.
Saat kembali sebelum Magrib, Pak Yahya dan Pak Bombom masih ada di Bizarre. Mereka bertiga sepertinya sedang membicarakan hal yang penting. Biasanya aku sudah akan mendengar gelak tawa mereka saat mengunci sepedaku di dekat pintu. Namun, hari itu sepi. Aku bahkan baru sadar mereka berdua masih di sana saat membuka pintu.
Setelah menyapa mereka bertiga, aku pamit untuk mandi. Saat Bapak memanggilku turun untuk makan mi ayam dari tempat Pak Bombom, kupikir kedua temannya sudah pulang. Ternyata mereka masih ada. Aku lantas bergabung dengan mereka bertiga.
Saat sedang makan dengan mereka, sambil membalas gurauan dan godaan tentang jangan-jangan sebentar lagi aku juga akan menyusul Kak Tata menikah, aku menyadari satu hal. Hidupku dikelilingi oleh bapak-bapak. Lelaki yang usianya jauh di atasku. Aku hanya punya dua orang teman yang usianya sepantaran denganku, Agung dan Dian.
Aku mengenal dan dekat dengan semua bapak-bapak pemilik bangunan yang satu blok dengan Bizarre. Aku bahkan tahu pemilik blok di belakang blok Bizarre, yang semuanya juga bapak-bapak. Ada Pak Irawadi penjahit jas, Pak Mutaqin penjual coto makassar, Pak Asrud pemilik toko roti yang sebelumnya adalah bengkel Daeng Gani, Pak Toni pemilik depo buah, Pak Arifin juragan pulsa dan ponsel, dan sisanya adalah Pak Yahya dan Pak Bombom.
Jadi sebenarnya tidak heran jika aku juga berteman dengan Pak Jati. Aku tersedak kuah mi ayam saat menyadari aku memikirkan papanya Kirana.
Pak Bombom menyodorkan gelas berisi air dingin kepadaku. “Makanya makan itu jangan melamun.”