Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #19

Bab 19 Antara Aku, Dia, dan Lydia Davis



“... Satu lagi buku penerbit mayor yang, entahlah, saya kehabisan kata-kata. Bohong. Saya punya banyak. Saya cuma tidak habis pikir mengapa untuk hal sesederhana infus, penulis tidak riset. Tolong, ya, kalau ada di friend list-ku yang mau jadi penulis, selalu riset. Saat kita diinfus itu, jarum tidak tinggal di dalam pembuluh darah kita! Jarum itu hanya untuk memandu. Bisa berdarah-darah, dong, kalau yang tinggal jarumnya. Gerak dikit, nusuk sana. Goyang dikit, nusuk sini. Haish! ....”

“... Bulan ini pokoknya saya mau nulis tentang buku-buku dari penerbit mayor saja. Yang self publishing (SP) sudah tahu, kan, kualitasnya bagaimana? Meskipun tidak semuanya jelek, ya. Ada, kok, SP yang bagus. Tapi jujur saja, sebagian besar novel SP lahir dari penulis yang memaksa ingin memiliki novel solo. Dari penulis yang merasa bahwa kemampuan menghalu saja sudah cukup. Apalagi kalau misalnya novelnya banyak dibaca orang atau penulisnya sudah punya fan militan. Aji mumpung, dah, tuh.

Oke, kita balik lagi ke buku yang mau kita bahas kali ini. Enggak kira-kira, lho, endorsement di sampulnya. Deretan orang terkenal di dunia perfilman dan akademik. Salah satunya malah guru besar. Ini mereka beneran baca bukunya enggak, sih? Mungkin mereka semua, sebagai senior, yang benar. Yang salah saya. Tapi silakan teman-teman baca, ya. Kalau sudah baca, bolehlah dibagi pendapatnya di kolom komentar.

Aku tulis satu saja hal yang bikin aku oleng. Banyak sebenarnya, tapi aku menantang kalian untuk menemukannya. Suaminya si tokoh utama, kan, diceritakan bahwa dua kaki dan dua tangannya lumpuh karena pengaruh tekanan darah tinggi. Ini maksudnya strok kali, ya? Tapi setahu saya strok itu sebelah kiri saja atau kanan saja. Terus kenapa tahu-tahu kaki kanannya mau diamputasi? Sejak kapan orang sakit strok diamputasi? Atau saya ganti pertanyaannya, deh. Kan, katanya yang lumpuh empat anggota gerak, nih, kenapa tidak diamputasi saja semuanya sekalian? Amazing, ya?

Nenek saya (sekarang sudah meninggal) dulu juga strok. Dan tidak ada, tuh, sampai harus diamputasi. Ada juga beliau harus fisioterapi. Kalian pokoknya harus baca buku ini! Eh, kenapa saya jadi mempromosikan, ya? Duh! ....”

“... Satu lagi, nih. Buku yang jalan ceritanya maksa pakai banget. Jadi ceritanya, si suami ngirim pesan ke istrinya. Langsung dibaca terus dihapus. Habis hapus itu, ponselnya si istri jatuh. Dituliskanlah bahwa ini semacam firasat telah terjadi sesuatu yang buruk sama si suami. Kemudian, dalam waktu yang tidak terlalu lama (yaaa, kurang dari waktu yang kita butuhkan untuk buang air kecil, deh), tahu-tahu ada polisi yang menelepon mengabarkan bahwa si suami mengalami kecelakaan padahal di novelnya dituliskan bahwa ponselnya rusak hancur berantakan. Pihak polisi menemukan nomor telepon si istri dari secarik kertas di dalam dompet si suami. Masih ada, ya, tahun 2019 orang yang nyimpan nomor telepon orang lain di dalam dompet? ....”

“... Eits, buku yang ini berbeda. Ini hanya sebagai contoh bagaimana sebenarnya buku yang bagus itu berproses (bahkan itu pun katanya masih ada missed-nya). Hitungan matematis, proses kimia, fisika, dan biologi di dalamnya, semuanya akurat! Penulisnya bahkan sampai membuat software untuk melacak lintasan dorong konstan (jangan tanya ini apa, ya, saya juga tidak tahu!). Dia juga survei ke NASA untuk menciptakan kondisi semasuk akal mungkin. Memangnya si anu, habis koma 2 tahun tahu-tahu bisa lari, eh! Maaf, saya belum move on dari buku best seller yang bentar lagi jadi film itu ...”

Aku membuat status tentang empat buku sekaligus sore itu sambil menunggui orang-orang yang sedang membaca buku. Sudah aku ketik malam sebelumnya, sih. Namun, baru aku ubah setting untuk publiknya.

Aku tertawa membaca komentar “Menjelang malam Minggu Mbak Gadis posting empat buku. Jomlo, ya, Mbak?”

Sialan, benar lagi!

Saat sedang sibuk membalas komentar beberapa orang, bel sepedaku berbunyi. Aku mengangkat pandanganku dari ponsel. Pak Jati.

“Ini bukannya contoh yang kurang bagus, ya? Meminjamkan buku, tapi pemilik bukunya malah asyik dengan handphone-nya?”

Aku nyaris saja menjawab bahwa aku menekuri ponsel juga ada hubungannya dengan buku. Untung saja aku tidak keburu khilaf. Jadi sebagai balasannya, aku hanya tersenyum.

“Sore, Pak. Sendiri aja? Kirana enggak ikut?”

Lihat selengkapnya