“Kamu lagi liat apaan, sih, Gung? Seru banget.”
Aku bertanya kepada Agung yang duduk di sebelahku di balik meja panjang.
“Hmm ... ini. Virus ... Cina ....”
Jawaban Agung yang tidak jelas membuatku melirik ke ponsel di tangannya. Dia sedang melihat video di YouTube. Earphone yang tergantung di telinganya hanya di bagian telinga kanan. Yang untuk telinga kiri menjuntai bebas.
Tadinya selagi menunggui Bizarre kami mendengarkan lagu sambil membaca buku dengan berbagi earphone. Kemudian datang beberapa orang untuk mengambil pesanan dan menyewa buku, jadi aku melepas earphone di telinga kiriku untuk melayani mereka.
“Itu cuplikan film baru?” tanyaku tidak paham.
“Bentar aku jelasin.”
Setelah selesai, Agung bercerita tentang wabah virus baru yang menyerang Wuhan, ibu kota salah satu provinsi di Cina.
“Di sana kayak kota mati. Enggak ada yang boleh masuk atau keluar. Diisolasi.” Agung masih menceritakan beberapa hal yang dilihatnya dari video laporan pandangan mata mahasiswa Indonesia yang tadi dia tonton.
Lonceng pintu Bizarre berdenting. Dian menepuk-nepuk tetesan air di bahu dan rambutnya. Di luar memang sedang hujan deras. Dia melepas sepatunya yang basah dan meminjam sandal. Aku menyuruhnya memakai sandal milik Bapak.
“Bapak ke mana emang?” tanya Dian sambil mengeluarkan isi tasnya.
“Pulang. Katanya tadi kurang enak badan. Kepalanya masih pusing padahal sudah minum Panadol.”
“Kamu bawa payung, Ian?” tanya Agung.
Tampaknya, sama seperti aku, dia heran saat melihat Dian mengeluarkan payung dalam kondisi kering dan tertutup rapat dari tasnya.
“He-em. Kan, sekarang lagi musim hujan.”
“Lah, terus kenapa tadi enggak dipakai?”
“Oh, yang barusan? Yaelah, tiban turun dari mobil ke pintu cuma berapa meter doang pakai buka payung segala. Ribet!”
Aku dan Agung saling menatap.
“Tapi, kan, deras, Ian. Tuh, sampai basah begitu,” ucapku.
“Terus buat apa bawa payung?” tanya Agung lagi. Aku memilih tidak bertanya karena yakin jawaban Dian pasti di luar nalar orang normal.
“Astaga Agung, ya. Kan, udah dibilangin tadi. Sekarang musim hujan.”
“Kan, Runi juga udah bilang kalau ini, tuh, lagi hujan deras, Diaaan!”
“Ya, kan, dekat ini. Kepeleset sampai juga, igh! Payung itu dipakai kalau jaraknya jauh.”
“Oooh, di dunia Ian ada kriteria kapan harus memakai payung berdasarkan jaraknya, Gung.” Aku mengangguk-angguk sambil memajukan bibir bawahku. Agung hanya menggeleng sambil menerima panggilan di ponselnya.
“Nah, itu Runi pinter.” Dian mengacungkan telunjuknya, tidak paham bahwa aku bermaksud meledeknya. Dia berjalan ke bagian belakang sambil bertanya, “Cokelatku tempo hari masih ada di kulkas, kan, Run?”
“Masih.”
“Ruun, cokelatnya di mana? Kok, enggak ada?” Setelah beberapa saat, Dian berteriak.