“Bapak yakin kepalanya udah enakan? Lebih baik istirahat aja, deh. Bizarre bisa Runi pegang sendiri, kok. Lagian tumben jam segini Bapak udah mau jalan. Biasanya jam delapan.”
“Iya enggak apa-apa. Nanti kalau kepalanya sakit lagi, Bapak, kan, bisa istirahat di kamar.”
“Bapak kenapa enggak mau ke dokter, sih?”
“Lah, nanti di dokter ditanya keluhannya apa, terus Bapak jawab enggak ada, dokternya bingung.”
“Bapak, kan, bisa bilang kemarin kepalanya sakit. Biar bisa ditensi atau apa gitu.”
“Enggak apa-apa, Run. Lagian Bapak lihat semalam kamu pulang kayak yang capek banget. Kemarin banyak orang, ya?”
Ditanya Bapak begitu, tiba-tiba mataku memanas. Bapak menyadari perubahan wajahku semalam ternyata. Beliau hanya tidak tahu penyebabnya.
“Lah, ditanya, kok, malah kayak mau nangis.”
“Runi pengin nangis karena punya bapak batu banget. Disuruh istirahat malah ngeyel mau kerja.” Aku memeluk Bapak dan menumpahkan air mataku.
“Ya, sudah. Bapak janji, kalau misalnya sakit lagi, Bapak langsung ke dokter.”
“Bener, ya? Bukan janji partai?” Aku menarik badanku agar bisa menatap wajah Bapak.
“Janji.” Bapak mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya.
Kami kemudian meninggalkan rumah beriringan. Aku mengendarai sepedaku dan Bapak berjalan kaki di sebelahku.
“Runi ingat tidak waktu belajar naik sepeda?”
“Ingatlah, Pak. Di depan Bizarre, dibantuin sama Daeng Gani atau bapak-bapak yang lain. Bisa ngegoes sepedanya, tapi karena kaki Runi enggak nyampai, Runi enggak bisa belok sama enggak tahu caranya berhenti. Ha-ha. Kasian Bapak dulu, ya. Harus lari-lari di belakang Runi.” Aku mengendarai sepedaku berputar-putar untuk mengimbangi langkah Bapak.
“Ya, kalau enggak, nanti Runi nabrak. Untung dulu belajarnya sampai bisa. Sekarang ada manfaatnya juga, bisa jadi tukang buku keliling.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Bapak. Sedari dahulu lelaki berkulit sawo matang itu selalu pandai menempatkan dirinya di dekatku. Ada di depan untuk memandu dan mengajarkanku banyak hal, ada di sisiku menemani setiap keputusan-keputusan pribadi yang aku buat, dan tahu-tahu sudah ada di belakang untuk menjaga agar aku tidak terjatuh atau kalaupun jatuh tidak terlalu menyakitkan.
“Kenapa Bapak tiba-tiba nanya itu?”
“Kemarin Pak Arifin sama Pak Irawadi ngobrol sama Bapak. Mereka sepertinya tergiur untuk menjual tempatnya.”
“Oh, itu yang bikin kepala Bapak jadi sakit kemarin. Kirain kebanyakan makan mi ayam di warungnya Pak Bombom.”
“Bapak jadi ingat masa lalu. Awal-awal berjuang dulu. Kalau mereka semua setuju menjual bangunannya, Bapak jadi kehilangan teman. Runi juga pasti.”
Aku mengangguk. Di antara delapan bangunan yang tersusun empat-empat saling membelakangi, hanya Pak Yahya, Bapak, dan Pak Asrud pemilik toko roti, yang tidak tinggal secara permanen. Sehingga jika mereka semua sepakat menjual tanahnya, Bapak akan sendirian.
Nostalgia Bapak membuatku makin yakin untuk tidak menceritakan masalah Gadislugu. Bapak sedang sedih dan aku tidak ingin menambah kesedihannya.
***