~Salam. Sebelumnya saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya telah menyebabkan keriuhan (yang tidak riuh-riuh amat juga). Saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk semua teman Gadislugu yang memberikan dukungan baik itu di kolom komentar atau melalui pesan di Messenger. Kalian keren!
Ini adalah tanggapan saya untuk pernyataan Alexios, penulis novel Cinta SMA, di akun Facebook miliknya dan pesan yang dikirimkan ke Messenger saya, yang memberikan saya waktu 2x24 jam untuk menuliskan permintaan maaf kepadanya, pihak penerbit, dan pihak produser film.
1. Bahwa dengan segala pertimbangan dan kerendahan hati, saya pribadi merasa tidak ada yang salah dengan unggahan saya (tautan terlampir).
2. Bahwa seperti pernyataan Alexios di akunnya (tautan terlampir) yaitu setiap orang harus bertanggung jawab terhadap apa yang dia tulis, maka saya bersedia bertanggung jawab terhadap apa yang saya tulis. Namun, hal tersebut juga berlaku timbal balik. Alexios pun harus bertanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahan medis di dalam novelnya.
3. Bahwa semua yang saya tulis di dalam status saya adalah hal sebenar-benarnya, tidak saya ada-adakan untuk menyerang Alexios secara personal. Semua yang saya sebutkan bisa ditemukan di dalam novel Cinta SMA.
4. Bahwa jika dengan menyuarakan pendapat saya sebagai pembaca, yang sekali lagi bersedia saya pertanggungjawabkan, lalu penulis dan siapa pun pihak yang terkait di dalamnya merasa tersinggung, maka hal itu berada di luar kendali saya.
Demikian pernyataan sikap saya. Salam buku. Mari membaca dengan cerdas.~
Pernyataan sikap itu bolak-balik aku buat dan Agung revisi. Awalnya kubuat dengan bahasa berbelit-belit. Setelah dibaca ulang, kesan yang tersirat adalah Gadislugu sedang ketakutan. Walaupun memang itu yang aku rasakan, Agung menolaknya mentah-mentah. “Sekalian saja kamu cium kakinya sambil minta maaf.”
Draf yang kedua juga ditolak. Terlalu sombong dan menantang katanya.
“Jangan Alexios dan gerombolannya, aku aja berasa pengin nonjok mukamu!”
Aku mencebik mendengar komentarnya. “Ya, terus gimana? Tadi katanya terlalu lembek. Dikasih yang keras malah pengin nonjok. Kamu niat bantu enggak, sih?”
“Tulis ulang. Aku enggak ada gambaran harus bagaimana. Pernyataan sikap itu harus Gadislugu banget. Kalau aku ikut bantu, itu jadinya bukan nyawamu. Lagian yang pintar nyusun kata-kata, kan, kamu. Aku bagian seleksi aja.”
Baru beberapa jam yang lalu aku merasa berterima kasih karena memiliki teman sebaik Agung. Sekarang rasanya aku sudah kehabisan persediaan kesabaranku. Walaupun Tuhan maha membolak-balikkan hati, kurasa perubahan suasana hatiku bisa mengejutkan-Nya.
Setelah usaha kesebelas atau dua belas mungkin, Agung menerima draf pernyataan sikapku. Setelah dia menyetujuinya pun, aku tidak langsung mengunggah hasil kesepakatan kami. Agung juga tidak mendesak. Kurasa, jauh di dasar hati kami masing-masing, setidak suka apa pun kami akan kesombongan Alexios, ada rasa takut dan khawatir.
Kami berdua duduk bersandar di tembok dengan kedua kaki terjulur ke depan.
“Minta maaf atau tidak, aku tetap dilaporin, kan, ya? Jadi kurasa memang sebaiknya aku jadi diriku sendiri,” ucapku.
“Tapi kenapa rasanya tidak jadi lebih lega, ya?”
“Yang butuh rasa lega, kan, aku, Gung. Aku lega, kok.”
“Hmm ....” Gumaman Agung tidak bisa kutebak maksudnya, tetapi saat menoleh dan menatapnya, sorot matanya jelas menunjukkan ketidakpercayaan.
“Ya, udah. Bismillah saja. Aku jujur takut karena tidak tahu akan seperti apa respons mereka nanti. Tapi lebih baik mereka tahu sekarang daripada nunggu 2x24 jamnya habis. Toh, sama saja.”
“Oke. Unggah sekarang terus tinggalin aja.”
“Okesip.” Aku menggerakkan kursor untuk mengembalikan tampilan layar di laptop setelah layarnya menghitam karena kami berdua terlalu lama berpikir. Statusku kuatur agar dapat dilihat oleh publik. Setelahnya aku log out dari akun Gadislugu lalu mematikan laptop Agung.