“Kamu enggak ke Bizarre, Nak?”
“Pergi, kok, Pak.”
“Kenapa belum jalan? Sudah hampir jam tujuh.”
“Kan, kita bisa buka jam kapan saja. Runi nyiapin makan siang untuk Bapak dulu. Biar Bapak gampang manasinnya nanti. Siapa tahu Ibu pulangnya sore.”
“Ibumu kayaknya belum bisa pulang, Run.”
“Iya enggak apa-apa. Toh, makan siang Bapak udah siap. Cuma nanti makan malamnya pakai ini lagi. Nanti kita pikirin bagaimana teknisnya supaya makanan Bapak bisa selalu hangat.”
Aku tidak memberi tahu Bapak bahwa aku menelepon Ibu semalam.
“Obat untuk nanti siang ada?”
“Sebentar.” Aku berjalan ke bufet yang ada di dekat meja makan lalu meraih kotak obat dari plastik milik Nenek dahulu.
“Ini kotak obat Bapak. Ada nama-nama harinya, ada waktu makan pagi siang malamnya juga. Sekarang, kan, tanggal 4, hari Selasa. Obatnya yang ini.” Aku memberi petunjuk singkat untuk Bapak.
“Enak ini. Tinggal menyesuaikan harinya. Jadi lebih gampang.”
“Enggak enak, dong, Pak. Masa sakit enak, sih. Runi jalan sekarang, ya, Pak. Bapak kalau butuh apa-apa, atau ngerasa enggak enak, langsung telepon Runi, ya. Awas aja kalau enggak, Runi enggak mau ngurus Bapak lagi,” ancamku.
“Iya.” Bapak tersenyum sambil mengangkat kedua jempolnya. Aku mencium tangan Bapak sambil memeluknya lalu mengeluarkan sepedaku.
***
Aku bersyukur memutuskan ke Bizarre hari itu. Sejak buka hingga waktu Zuhur, orang-orang datang silih berganti. Mungkin karena untuk pertama kalinya setelah semingguan lebih hujan mengguyur Makassar, matahari akhirnya menampakkan diri.