Pikiran yang dipenuhi banyak hal serta perasaan yang tidak menentu membuatku melakukan banyak kesalahan. Berulang kali aku salah memasukkan judul buku ke dalam komputer, tidak konsentrasi saat ditanya tentang posisi satu buku, dan tertukar memberikan buku yang akan dipinjam.
Aku mengirimkan pesan kepada Agung sejak Dian meninggalkan Bizarre, yang hingga menjelang Magrib belum juga ada balasannya. Aku tahu sudah tidak sehat untuk tetap melanjutkan apa pun yang aku kerjakan saat aku ingin sekali menelepon Agung dan menyemburkan segala rasa marah yang membelitku sedari pagi.
Sejak kapan aku berubah menjadi orang yang melampiaskan kemarahannya kepada orang yang sama sekali tidak tahu apa-apa?
Aku memutuskan untuk pulang ketika terdengar bunyi petir. Pulang dalam keadaan basah jelas bukan terapi pendinginan yang kuinginkan. Walaupun sudah terburu-buru mengayuh sepedaku dan jarak rumah dengan Bizarre tidak terlalu jauh, hujan turun tanpa bersedia menungguku hingga aman sampai ke rumah. Aku tetap basah kuyup.
Seakan semua yang aku hadapi hari itu belum cukup, saat hendak berlari menuju teras, tali ranselku tersangkut setang sepeda. Semua isinya berhamburan. Ponselku menghantam pinggiran pot dan jatuh di atas genangan air dari paving block yang sudah terlepas.
Tanpa perlu memeriksa lebih lama, aku tahu riwayat ponselku sudah tamat. Aku kembali menangis.
Aku berputar untuk masuk lewat pintu samping. Dengan segala air yang menempel di badanku, Ibu pasti mengomel kalau aku membasahi ruang tamu. Tidak peduli lantai yang basah nantinya akan kupel dan kubersihkan. Ibu tetap akan marah karena itulah kesenangan hidupnya.
Bapak dan Ibu sedang duduk di meja makan ketika aku membuka pintu samping.
“Astaga Runi, kenapa pakai hujan-hujanan, sih?” omel Ibu.
“Ini namanya kehujanan, Bu. Bukan hujan-hujanan. Runi sudah buru-buru pulang. Tapi Runi tidak tahu kapan langit bakal ngejatuhin airnya.” Aku tahu jawaban panjangku pasti mengejutkan Bapak. Runi yang normal akan diam saja dan membiarkan hal seremeh itu.
“Kan, ditanya baik-baik sama orang tua malah ngejawab.”
“Sudah benar, kan, Bu? Ibu nanya, ya, Runi jawab. Nanti kalau Runi tidak menjawab, Ibu bilang Runi kurang ajar.” Aku menutup pintu setelah sekali lagi mengibas-ngibaskan tanganku untuk mengurangi air yang akan membasahi lantai rumah.
“Tuh, kan, basah!” Astaga! Ibuku mungkin berpikir aku punya kekuatan super untuk kehujanan dan basah kuyup tanpa membuat sekelilingku ikut basah.
“Terus Runi harus bagaimana, Bu? Diam di sini sampai airnya kering di badan Runi?”
“Ya, enggak gitu juga, Run. Kamu ini!”
Aku menganggap itu adalah izin untuk melangkah.
“Langsung mandi saja, Nak. Nanti Bapak bawakan handuknya.”
“Jangan lupa lantainya dipel. Nanti bikin orang jatuh.” Ibu belum mau menyerah.