Aku terbangun dengan kepala yang seperti digencet dari segala arah. Rasanya ada yang berdentam-dentam di dalam sana. Mungkin karena aku terlalu banyak menangis. Aku tertidur sambil menangis. Aku bahkan mungkin menangis dalam tidurku. Baiklah, itu berlebihan dan terlalu kudramatisir. Aku tidak mungkin tahu aku menangis atau tidak saat sedang berada di dunia kapuk.
Hal pertama yang terpikirkan olehku adalah Bapak. Setelah tidur beberapa jam, rasa marahku kepada Bapak, sudah menguap entah ke mana. Berganti dengan rasa bersalah. Aku mungkin terlalu keras kepada lelaki yang paling aku sayangi di dunia itu. Padahal selama ini Bapak sudah sangat sabar menghadapiku.
Semalam Bapak mengetuk pintuku, tetapi kuabaikan. Setelah kupikir-pikir, bukan karena aku terlalu marah kepada Bapak. Namun, aku hanya takut menyakiti Bapak lebih banyak saat pikiranku sedang tidak sehat.
Tidak seharusnya aku sekeras itu kepadanya. Adalah hal yang manusiawi bagi seseorang untuk memiliki kekurangan. Memangnya kenapa jika kita memiliki kelemahan? Mempunyai kelemahan tidak membuat seseorang jadi tercela. Superman saja tidak berdaya di dekat kripton.
Aku bangkit ke kamar mandi untuk berwudu. Saat akan masuk ke kamarku, aku melihat Bapak keluar dari rumah untuk salat Subuh di masjid. Itu adalah kebiasaan rutin Bapak. Aku ingin meminta maaf, tetapi dari masjid sudah terdengar ikamah. Bapak akan terlambat kalau aku menahannya.
Saat sedang menyiapkan sarapan sekaligus makan siang untuk Bapak, aku menyadari bahwa aku sama sekali belum mendengar Bapak kembali. Aku melihat jam dinding di atas bufet, sudah setengah enam. Mungkin Bapak mengobrol dulu dengan bapak-bapak di masjid.
Pukul enam lewat, aku sudah selesai menyiapkan makanan untuk Bapak. Ibu belum kelihatan keluar dari kamar. Sepertinya aku akan sedikit terlambat ke Bizarre. Aku belum menyapu rumah dan halaman.
Langit masih menyimpan mendung sisa semalam. Aku bersyukur karena itu berarti aku tidak perlu menyiram tanaman milik Bapak. Aku meraih sapu lidi di dekat deretan tanaman tomat.
Jantungku seperti diperas dan ditarik keluar dari dalam rongga dadaku ketika melihat Bapak. Tubuhnya tergeletak di dekat pintu pagar dengan wajah menghadap ke tanah. Sudah berapa lama Bapak di sana?
Aku menjatuhkan sapuku dan berteriak memanggil Ibu. Kuhampiri Bapak dan kubalikkan badannya perlahan. Dada Bapak masih bergerak. Ada air liur bercampur sedikit darah di pipi Bapak. Bapak masih bernapas. Aku berteriak memanggil Ibu lebih keras.
Pak Danial, tetangga sebelah kiri rumah, yang pertama kali datang. Dia lantas berteriak memanggil anak sulungnya untuk menyiapkan mobil.
“Pak Pram kenapa?”
“Runi enggak tahu, Pak.” Aku sudah mulai terisak-isak.
“Sudah berapa lama?”