Tetangga satu blok Bapak di Bizarre, datang menjenguk di hari kedua Bapak dirawat. Bapak masih di ICU dan belum sadar setelah operasi untuk mengangkat perdarahan di kepalanya. Saat disodori roti oleh Mas Joko, aku baru sadar sama sekali belum makan sejak kemarin.
“Mas Joko ke sini naik apa?”
“Motor. Kenapa?”
“Runi bisa minta tolong diantar ke rumah sebentar enggak? Mau ambil baju sama dompet. Mumpung ada bapak-bapak di sini.”
“Oke, ayo!”
Di rumah, aku mandi dan menyiapkan beberapa potong baju serta mengambil dompetku. Aku juga memasukkan ponsel rusakku dan tiga buah buku ke dalam ransel. Aku butuh nomornya. Mungkin nanti aku bisa mencari ponsel bekas yang masih layak pakai.
Saat kembali ke rumah sakit, sudah ada Ibu dan Kak Andi di antara teman-teman Bapak. Aku sungguh berharap kembali sekitar sepuluh menit lebih lama agar aku tidak perlu mendengar Ibu mengatakan kepada penjenguk Bapak bahwa akulah penyebab semua itu.
Aku menjauhkan diriku dari yang lain lalu duduk bersandar di bagian sebelah kiri pintu ICU. Aku ternyata ketiduran. Pak Bombom dan yang lain sudah mau pamit.
“Ucapan ibumu jangan dimasukkan ke dalam hati, ya, Nak. Dia hanya sedang kesal dan harus punya seseorang untuk disalahkan.”
“Iya, Pak. Enggak apa-apa.”
“Ini ada dari kami semua, jangan ditolak. Bapak kasih ke Runi saja, ya. Enggak usah bilang-bilang ibumu. Runi, kan, yang nungguin Bapak di sini?”
Pak Bombom meletakkan amplop putih ke tanganku. Aku ingin sekali menolak, tetapi aku tahu mereka semua akan tersinggung. Lagi pula aku memang membutuhkannya.
“Terima kasih banyak, Pak.”
“Operasi Pak Pram pasti makan biaya lumayan.”
“Bapak enggak bayar sepeser pun, kok, Pak. Semuanya ditanggung BPJS.”
“Oh, baguslah. Pakai beli makanan saja kalau begitu. Dua hari enggak ngelihat kamu, sudah kayak mayat hidup.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
***
Setelah mengantarkan tetangga blok Bapak hingga ke parkiran sekalian salat Zuhur lalu kembali ke depan ruangan ICU, aku tidak melihat Ibu dan Kak Andi lagi. Mungkin mereka sudah pulang.
Aku menghampiri ruangan ICU untuk meminta izin duduk di dekat Bapak. Aku menangis tanpa suara melihat pahlawan superku sedang berjuang di antara sambungan banyak selang sebagai alat bantu hidup. Apa yang Bapak rasakan di dalam ketidaksadarannya sekarang? Apakah baginya itu hanya seperti tidur yang kelamaan? Apa pun itu, aku sungguh berharap Bapak tidak merasakan sakit.
“Pak, maafin Runi, ya.” Itu kalimat pertamaku setelah ribuan permintaan maaf yang kurapal dalam hati saja.
***
Entah berapa lama aku di dalam ruangan ICU hingga suster memintaku untuk menunggu di luar agar Bapak bisa istirahat. Hari itu Jumat, hari ketiga Bapak dirawat.
Aku melihat Ibu tengah berdiri sambil menengok ke sana kemari. Mungkin mencariku.
“Kamu dari mana saja, sih? Ditelepon tidak nyambung-nyambung,” hardik Ibu begitu melihatku. Aku memilih tidak menjawab.
“Tata dirawat juga. Tadi di rumah perdarahan. Kata dokter dia stres.”
Sepertinya aku tahu ke mana ini akan mengarah. Harus ada yang disalahkan untuk setiap ketidakberuntungan dan masalah di keluarga kami. Siapa lagi yang lebih pantas untuk menerima kehormatan itu selain aku?
Ibu memberi tahu karena Tata dirawat, jadinya aku yang harus menunggui Bapak di ICU. Seolah-olah selama tiga hari Bapak dirawat Ibu pernah ikut menginap menunggui Bapak. Aku pikir hanya Ibu yang menyalahkanku untuk apa yang terjadi kepada Kak Tata. Ternyata, kakakku itu juga berpikiran yang sama. Mereka memang pasangan sejiwa.
“Kalau sampai ada apa-apa dengan anak di kandunganku, itu salahmu. Harusnya aku istirahat di rumah bukan mondar-mandir di rumah sakit.” Aku masih di pintu kamar Kak Tata sewaktu dia mengucapkan kalimatnya.