Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #30

Bab 30 Use Your Weakness Wisely


Sudah sebelas hari Bapak dirawat di rumah sakit. Setelah menghabiskan satu minggu di ruang ICU, dua hari di ruang intermediet (semacam ruang peralihan dari ICU ke ruang rawat inap), di hari kesembilan, Bapak sudah diizinkan untuk pindah ke ruang rawat inap biasa karena kondisinya lebih stabil.

Kaki dan tangan kanan Bapak mengalami kelemahan. Menurut penjelasan dokter saraf yang merawat Bapak, saraf bicara yang ada di otak sebelah kiri terkena dampak serangan strok. Bukan hanya itu saja, Bapak meneteskan air liur yang berlebihan sepanjang hari.

Bapak stres. Lagi pula siapa yang tidak? Seumur hidup Bapak berjalan dengan gagah, melakukan semua aktivitas hidup hariannya sendiri, membicarakan semua hal dengan siapa pun yang beliau inginkan. Namun, kini semua kemewahan itu diambil darinya secara tiba-tiba. Butuh adaptasi yang jelas tidak akan dicapai dalam waktu yang singkat.

Aku, yang menunggui Bapak 24 jam di rumah sakit, mengalami kesulitan dengan perubahan Bapak. Kedekatan kami yang berlangsung seumur hidupku tidak ada gunanya sama sekali. Bagaimana tidak, saat menginginkan sesuatu Bapak hanya akan mengeluarkan lenguhan yang tanpa makna.

Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menebak. Maksudku, seberapa banyak, sih, keinginan pasien yang sedang dirawat. Tidak jauh-jauh dari lapar, haus, atau ingin buang air besar, mentok-mentok ada yang gatal di salah satu bagian tubuhnya entah karena semut atau nyamuk. Intinya tidak banyak. Namun, tetap saja setiap hari selalu ada permintaan Bapak yang tidak aku pahami. Lalu Bapak akan mulai menangis (belakangan setelah aku bercerita kepada fisioterapi yang melatih tangan dan kaki Bapak, aku tahu bahwa itu adalah respons pasien strok yang normal). Setelahnya aku juga akan ikut menangis karena merasa bersalah tidak bisa mengetahui apa yang Bapak inginkan.

Jika sudah seperti itu Bapak akan menepuk-nepuk sisi kasur dengan tangan kirinya. Kalau itu aku tahu, Bapak memintaku mendekat. Beliau kemudian akan mengelus kepalaku. Masih sambil menangis. Setelah kami berdua lebih tenang, Bapak seperti mengalah dengan melupakan apa pun yang beliau inginkan sebelumnya.

“Bapak Dik Runi masih mending. Bapak saya mana mau mengerti. Sampai keinginannya terpenuhi, dia akan terus mengamuk,” kata Kak Abdul, anak sesama pasien strok yang aku temui saat sedang fisioterapi.

“Oh, ya?”

“Ibu saya sampai mengamuk karena dilempar bantal sama Bapak. Padahal semasa sehatnya, Bapak itu sabar banget orangnya. Sejak kena strok, enggak bisa ngomong, kayaknya enggak afdol kalau dalam sejam enggak ngamuk.”

“Kak Abdul sabar banget.”

“Ya, mau gimana. Namanya juga orang sakit. Saya ingat sehatnya Bapak saja. Baru tadi ini, sebelum jalan untuk fisioterapi, pengen AC di kamar diturunin. Saya enggak kepikiran sama sekali. Wong itu kita sudah mau jalan. Mana perintahnya enggak jelas pula. Mau suhu AC diturunin, tapi nunjuknya ke bufet kecil di samping tempat tidur. Kan, enggak nyambung.”

“Terus?”

“Saya sudah nebak macam-macam. Semua benda di atas bufet kecil itu saya angkat sambil nanya apa yang itu yang Bapak maksud. Makin lama Bapak makin emosi karena saya tidak juga paham maksudnya. Bapak saya mukul-mukul kursi rodanya. Itu untung enggak ada barang-barang di dekatnya. Bisa dilempar saya. Ha-ha.”

“Alhamdulillah Bapak saya enggak segitunya, sih. Paling nangis. Itu juga kalau saya ikutan nangis pasti berhenti. Terus Kak Abdul bisa tahu kalau yang dimaksud suhu AC gimana ceritanya?”

“Akhirnya setelah tantrum, setelah saya ngangkat semua barang, setelah uu-aa-uu-aa entah berapa lama, baru, deh nunjuk AC. Ya, Tuhan! Dari tadi, kek! Ha-ha. Itu, ya, kalau saya ketawa, Bapak pasti ngambek terus enggak mau fisioterapi.”

Aku tergelak bersama Kak Abdul. Itu baru satu cerita tentang penunggu pasien strok. Karena setiap hari bertemu dengan penunggu pasien, aku jadi bertukar cerita dengan mereka. Boleh dibilang aku yang paling beruntung karena pasienku yang paling sabar.

Kak Tata dirawat di rumah sakit selama seminggu. Kandungannya aman. Untunglah. Selama Bapak dirawat, Ibu tidak pernah menginap menunggui Bapak. Alasannya apa lagi kalau bukan Kak Tata. Jangankan setelah Kak Tata pulang, saat Ibu masih di rumah sakit selama seminggu menunggui Kak Tata saja, tidak setiap hari Ibu mampir dan menengok Bapak. Apalagi setelah kembali ke rumah.

Lihat selengkapnya