Bapak dirawat di rumah sakit selama tiga minggu. Di akhir bulan Februari itu, Bapak diizinkan untuk rawat jalan. Aku tidak memberi tahu Ibu, Kak Tata atau Kak Andi kepulangan Bapak. Untuk apa juga? Bapak pulang sekitar pukul satu siang. Kak Andi jelas sedang bekerja. Ibu dan Kak Tata hanya akan merepotkan. Jadi aku hanya memberi kabar kepada Agung.
Di hari kepulangan Bapak, Pak Jati tahu-tahu muncul. Itu adalah kedatangan keduanya ke rumah sakit setelah dia datang di hari ulang tahunku. Aku sedang menunggu Agung sambil memasukkan barang-barang Bapak ke dalam tas. Sejak semalam aku berkemas, tetapi seperti tidak habis barang-barang yang masih belum dibereskan. Secara ajaib, selama tiga minggu, sepertinya sebagian besar barang-barangku berpindah ke rumah sakit.
Ketika pintu kamar Bapak dibuka, aku mengira itu Agung.
“Lho, Bapak sudah boleh pulang?”
“Eh, Pak Jati. Iya. Sudah diizinkan sama dokternya. Tinggal lanjut fisioterapi rutin di rumah, jaga makan, sama minum obatnya. Bapak kok tahu kamar ini?”
“Pakai teknologi bertanya, Run.”
Pak Jati menghampiri Bapak dan duduk di sebelah tempat tidur. “Maaf saya baru bisa datang lagi, Pak. Pekerjaan di Batam baru selesai.”
Aku dengan geernya merasa informasi tentang Batam yang membuat Pak Jati baru bisa datang ke Makassar lagi ditujukan untukku. Bapak, kan, tidak butuh informasi itu. Meskipun selama Bapak dirawat, setiap hari pasti ada pesan atau sesekali telepon dari Pak Jati, ada perasaan bahagia saat melihatnya hari itu.
Dan walaupun aku masih ingat saat kedatangan pertamanya aku mati-matian berusaha mengusirnya, aku sempat merasakan kesal karena setelahnya dia tidak lagi menampakkan dirinya di rumah sakit. Padahal aku tahu domisilinya bukan di Makassar, padahal aku tahu pekerjaannya banyak, padahal aku tahu aneh saja mengharapkan orang lain menengok bapakmu yang sedang sakit sedangkan keluarga dekatmu saja tidak melakukannya. Namun, entah mengapa aku merasa setidaknya dia bisa muncul sekali saja di antara periode dua minggu Bapak di rawat inap.
Perempuan yang aneh! Mati-matian mengusir seseorang, lalu ketika orang tersebut benar-benar tidak lagi datang, malah merasa jengkel!
Pak Jati kemudian berjongkok dan bertanya kepadaku, “Ada lagi barang yang harus dimasukkan ke dalam tas?” Dan begitu saja rasa jengkel atau kesalku menguap. Lemah!
“Saya bisa sendiri, kok, Pak. Bapak duduk saja.”
“Ini nanti pakai apa pulangnya?”
“Sama Agung nanti, Pak.”
“Cukup mobilnya? Barangmu banyak gini. Kamu mindahin isi kamarmu ke sini, ya, Run?”
“Bapak belum pernah ke kamar saya jadi enggak bakal tahu ini isi kamar saya atau bukan.” Aku baru menyadari bahwa kalimatku seakan-akan menawarkan Pak Jati untuk berkunjung ke kamarku.
“Minta tisunya, Run.”