Aku sama sekali tidak menyangka akan mendapati rumah dalam keadaan kosong. Bukannya terakhir kali aku bertukar pesan dengan Kak Andi, dia dan Kak Tata masih di rumah ini, ya? Namun, itu memang dua hari yang lalu. Bisa saja Kak Tata sudah kembali ke rumahnya dan Ibu menemaninya di sana.
Saat masuk ke rumah, aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku. Lantainya lengket tanda sudah tidak pernah dipel paling tidak dua atau tiga hari. Meja makan berantakan dengan tumpukan piring kotor di bak cuci piring.
Untungnya saat masuk ke kamar Bapak, kondisinya lumayan rapi. Aku hanya perlu mengganti seprainya dengan yang baru sebelum meminta Bapak dibawa ke dalam. Aku meletakkan alat perang Bapak; obat, popok, underpad, tisu kering, dan tisu basah di meja.
“Run, kami keluar sebentar mau beli makanan, ya. Pak Jati enggak mau pesan antar, nih. Kamu mau makan apa?”
“Apa saja yang kalian beli. Aku nurut.”
“Enggak apa-apa, kan, ditinggal sendiri?”
“Bagus malah. Aku bisa beres-beres rumah tanpa perlu mengusir kalian.”
Setelah selesai merapikan kamar Bapak dan memintanya tidur, aku membereskan barang-barang dari rumah sakit. Meskipun aku belum bisa beristirahat, aku senang bisa mencium bau rumah.
Agung dan Pak Jati pergi lebih lama dari yang aku perkirakan. Entah aku yang terlalu cekatan membersihkan rumah atau mereka membeli makanannya di provinsi yang berbeda. Bayangkan, aku sudah selesai menyapu dan mengepel rumah, mencuci piring, memasukkan sisa pakaian kotor dari rumah sakit ke mesin cuci, menyapu halaman yang kotornya minta ampun, bahkan sudah mandi juga, tetapi mereka belum kembali.
Aku sedang memasak makan malam untuk Bapak ketika mereka akhirnya datang.
“Kalian beli makanan di mana? Aku sudah mau nelepon polisi, lho, ini. Tahu gitu mending aku masak saja. Sama lamanya.”
“Ini, menemani Agung beli kursi roda sama walker buat Bapak,” jawab Pak Jati.
Agung yang sedang menurunkan kursi roda spontan mengangkat kepalanya. Matanya menatap Pak Jati.
“Kamu yang beli, Gung?”
“Ah, eh. Iya,” jawabnya sambil menggaruk kepalanya.
“Bohong. Pasti Pak Jati,” tuduhku. Bukan aku menganggap Agung tidak memiliki uang atau memiliki kebaikan hati, ya. Namun, inisiatif-inisiatif seperti itu adalah perbuatan yang hanya akan dilakukan oleh Pak Jati. Bukan tentang harganya, walaupun itu juga pasti lumayan, tetapi perhatiannya. Keinginannya untuk memudahkan orang lain.
“Siapa yang beli tidak penting, Run.”
“Saya tidak mau merepotkan Bapak.”
“Saya enggak repot. Yang repot kamu malah. Coba lihat dari sudut pandang Bapak. Bapak butuh jemur sesekali, kan? Atau kalau mau dimandikan misalnya. Makanya butuh kursi roda. Untuk latihan Bapak juga butuh walker. Enggak ada yang untuk Runi, kok, ini. Untuk Bapak semua,” jelas Pak Jati panjang lebar.
“Runi bisa beli sendiri, Pak.”
“Iya, tahu. Tapi mau kapan?”
Aku terdiam. “Kalau begitu berapa semuanya. Nanti Runi ganti.”
“Mahal, Run.” Agung keceplosan.
“Ini hadiah ulang tahun untuk Bapak. Gung, Bapak ulang tahun kapan?”
Agung yang sedari tadi hanya menyimak aku dan Pak Jati berdebat sambil sesekali menyeletuk, gelagapan saat tiba-tiba dilibatkan. “Ehm, duh, tanggalnya saya lupa, Pak. Tapi bulan Juni.”
“Nah, itulah. Ini hadiah ulang tahun untuk Bapak mulai dari Bapak lahir sampai tahun ini.”