Agung memindahkan semua makanan yang belum selesai kami santap dari ruang tamu ke kamarku.
“Mereka enggak usah kita bagi makanan.” Agung berusaha menghiburku. Paling tidak agar aku berhenti menangis.
Aku tersenyum lemah. Saat tidak sengaja melihat ke arah Pak Jati, dia menatapku dengan serius.
“Waktu Runi bercerita dulu itu, tidak pernah terpikirkan sama sekali kalau kondisinya separah ini.”
“Beugh, tanya saya saja, Pak, kalau mau cerita lengkapnya. Runi itu suka mengurang-ngurangi ceritanya biar enggak sedih-sedih amat. Saya, kan, sering banget nginap di sini, jadi tahu horornya rumah ini,” kata Agung dengan mulut penuh makanan, “tapi Bapak tidak termasuk. Kalau Bapak, sih, oke banget.” Agung menoleh ke arah Bapak yang sedang memperhatikan kami bertiga makan sambil mengacungkan jempolnya. Bapak mengangguk-angguk.
“Terus Bizarre bagaimana?” tanya Pak Jati lagi.
“Lagak-lagaknya, sih, terpaksa ditutup, Pak. Paling yang bisa jalan jualan bukunya saja.”
“Atau buka tempo-tempo aja, Run. Bikin pengumuman. Kamu buka jam berapa saja. Tidak perlu sepanjang hari seperti dulu,” usul Pak Jati.
“Terus Bapak bagaimana?”
“Bawa saja. Misalnya pagi buka jam delapan sampai jam dua belas. Bapak ikut. Baring di sofa saja. Sayangnya, tidak ada tempat tidur di lantai satu. Sekalian Bapak jalan-jalan, kan. Makanya tadi pilih kursi roda yang bagus. Kuat itu dipakai bolak-balik rumah-Bizarre,” jawab Pak Jati.
“Sore juga aku rasa Bapak bisa ditinggal sejam dua jam. Iya, kan, Pak?” Agung menoleh ke arah Bapak. Bapak kembali mengangguk-angguk.
Aku terdiam menimbang solusi yang ditawarkan Pak Jati dan Agung. Apa yang mereka sampaikan semuanya masuk akal.
“Saya bukan nyuruh kamu repot ke sana kemari, ya. Rumah ini tidak sehat untuk jiwamu. Nyawamu itu di Bizarre. Di antara buku-buku. Ke sana setiap hari walaupun cuma beberapa jam, bisa menambah semangat.”
Yang Pak Jati katakan memang benar. Setelah insiden barusan, aku tidak lagi bisa mengharapkan keluargaku. Apalagi dengan membawa Bapak ke kamarku, aku sendiri yang membuat tembok pernyataan bahwa Bapak hanya akan aku urus sendirian.
“Apalagi kalau makan mi ayam Mas Joko. Pasti tambah semangat.” Agung mengedipkan matanya. Aku memelotot.
“Mas Joko ini siapa?”
“Kecengannya Runi, Pak.”
“Enak aja. Enggak, Pak.”
“Ya, udah. Dia yang ngecengin Runi.”
“Bohong, Pak.”
“Tepatnya, bapaknya Mas Joko yang maksa pengen jadi mertuanya Runi. Ha-ha. ”
“Ooh, Joko ....” Pak Jati tersenyum sambil mengangguk-angguk sebelum melanjutkan, “Lumayan, Run. Bisa makan mi ayam tiap hari.”
Aku cemberut. “Pak, ini tamu kita dua orang bisa diusir saja tidak?”
Badan Bapak terguncang-guncang karena tawa, meskipun air matanya mengalir.
***
Aku menuruti saran Pak Jati dan Agung. Biar bagaimanapun, aku memang harus membuka Bizarre. Bukan sekadar untuk kesehatan keuangan kami, tetapi juga untuk kesehatan mentalku.
Setiap hari aku bangun pukul empat. Jadwalku jelas. Memasak untuk Bapak dan mencuci peralatan memasaknya supaya Ibu tidak mengomel. Pukul enam pagi aku sudah membawa Bapak ke halaman untuk latihan tangan dan kaki kanan. Dua hari sekali aku memandikan Bapak karena seberapa sering pun badan Bapak kuseka, tidak ada yang bisa mengalahkan segarnya guyuran air
Sekitar pukul delapan aku sudah mendorong kursi roda dengan Bapak di atasnya, menuju Bizarre. Rencana untuk menjadwalkan kedatanganku di Bizarre, hancur berantakan. Pak Bombomlah penyebabnya. Beliau memaksa agar Bapak tidur di rukonya saja. Jadi aku bisa tetap buka seharian.