Hari-hariku selanjutnya tidak menjadi lebih mudah terlepas dari semua uluran tangan dari orang-orang terdekatku. Aku memenuhi panggilan kepolisian di minggu pertama bulan Maret 2020. Seharian aku di kantor polisi ditemani Pak Mustakim. Agung terpaksa bolos kuliah untuk menemani Bapak di Bizarre karena aku tidak ingin beliau tetap di rumah dan ditunggui oleh Ibu.
Sejak Bapak keluar dari rumah sakit tidak sehari pun aku meninggalkan beliau di rumah sendirian. Tiba-tiba meninggalkannya, meskipun hanya untuk sehari, pasti akan membuat Ibu bertanya-tanya. Walaupun aku tidak yakin Ibu benar-benar akan bertanya kepadaku mengingat kami saling mendiamkan sejak aku kembali ke rumah, aku tidak ingin menempatkan diriku diinterogasi oleh beliau. Semustahil apa pun kemungkinan itu terjadi.
Lagi pula aku sudah bisa memprediksi reaksi Ibu. Aku pasti dimarahi habis-habisan karena dianggap bikin malu. Dan entah mengapa aku merasa Ibu akan mensyukuri masalah yang kuhadapi. Semacam reaksi saya-bilang-juga-apa atau tidak-heran-anak-bermasalah-seperti-kamu-kena-batunya-juga.
Aku berbohong kepada Bapak saat menitipkannya kepada Agung dengan berkata hendak mengurus keperluan untuk SBMPTN. Sekali lagi aku merasakan kelegaan bahwa Bapak tidak bisa berkomunikasi dengan normal. Keberanianku berbohong kepadanya hanya sampai di situ. Dalam kondisi sehat Bapak pasti akan bertanya macam-macam karena beliau selalu peduli dengan apa pun yang aku lakukan dan aku tahu betul tidak akan mampu melanjutkan kebohongan-kebohonganku.
Terlepas dari keyakinan Pak Mustakim bahwa pihak Alexios tidak punya kasus terhadapku, aku bisa merasakan kakiku goyah saat memasuki ruang pemeriksaan. Aku lupa ada berapa banyak pertanyaan yang diajukan kepadaku. Sepertinya banyak karena saat keluar dari sana waktu sudah menunjukkan pukul dua lebih. Padahal aku mulai diinterogasi sekitar pukul sepuluh.
Saat kembali ke Bizarre, Agung sedang duduk di belakang meja panjang sambil menghadapi laptopnya. Di dekatnya ada dua bungkus makanan yang dari aromanya aku tebak adalah nasi padang. Aku memegang bungkusannya, masih panas. Sepertinya dia langsung membeli makanan itu setelah aku memberi kabar sudah dalam perjalanan pulang.
“Ya, ampun, Gung, aku sudah pernah bilang aku sayang banget sama kamu enggak, sih? Tahu aja aku lagi lapar banget.”
“Gimana tadi?”
“Horor. Aku ditanyain macam-macam. Berasa sepuluh tahun lebih tua waktu keluar dari sana. Bapak gimana?”
“Aman. Baru saja tidur. Habis disamperin calon mertuamu.” Yang dimaksud Agung calon mertuaku adalah Pak Bombom.
Bapak sekarang punya tempat tidur di bagian belakang Bizarre hasil kreasi keroyokan teman-temannya. Di sisi kirinya ada lonceng kecil yang bisa beliau bunyikan jika butuh sesuatu atau sekadar memberi tahu bahwa beliau sudah bangun.
Aku beranjak ke belakang untuk melihat Bapak sekaligus mencuci tangan. Bapak terlihat pulas. Aku merasakan tusukan rasa bersalah. Rasanya aku tidak pernah berbohong kepada beliau seumur hidupku. Namun, hanya dalam beberapa bulan terakhir aku sudah melakukan banyak hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bukan hanya berbohong dan tidak menceritakan masalah yang kuhadapi kepadanya, aku juga secara tidak langsung menjauhkan Bapak dari Ibu.
Saat kembali ke bagian depan Bizarre untuk makan, Agung menatapku.
“Jangan menangis kalau mau makan.”
Aku tersenyum, tetapi mataku terasa panas.
“Aku merasa dengan begitu banyak masalah yang aku simpan sendiri, aku semakin jauh dari Bapak.”
“Kata siapa kamu jauh dari Bapak? Kamu masih sama dekatnya. Hanya saja sekarang posisinya beda. Dulu, Bapak ada di depanmu. Jadi penuntun dan pelindung. Kamu ada di belakang Bapak. Sekarang dengan kondisi beliau, kamu bertukar posisi. Kamu yang di depan. Kamu yang mengambil tanggung jawab, mengambil keputusan. Gantian Bapak di belakangmu. Kamu hanya terlalu fokus dengan tanggung jawab barumu. Melihatnya selalu ke depan. Makanya Bapak tidak kelihatan. Tapi kapan pun kamu berbalik, Bapak selalu ada di dekatmu, kok.”
Aku berusaha mencerna dan mencari celah untuk mendebat kalimat Agung hanya supaya aku bisa tetap menyalahkan dan mengasihani diriku. Namun, Agung memang benar. Sekarang akulah yang bertanggung jawab terhadap Bapak. Setidaknya itu yang sedang berusaha aku lakukan. Memastikan beliau tidak banyak pikiran, tetap sehat, dan tetap bahagia bagian dari tanggung jawab itu, kan?
Aku memilih tidak berkomentar dan meletakkan bungkusan nasi padang ke atas piring yang kubawa dari dapur.
“Oke, sebagai rasa terima kasihku karena sudah dibantu nungguin Bapak hari ini, nasi padangmu aku saja yang bukain.”
“Yang ujungnya kesobek itu punyamu. Lauknya ikan asam padeh sama gulai jengkol.”
“Aaah, Kurniawan Agung! Aku terharu. Aku sudah bilang belum kalau aku sayang banget?”
“Selama kita berteman, sih, belum pernah. Baru hari ini, nih, belum sampai sejam sudah dua kali. Kayaknya kantor polisi beneran ngambil kewarasanmu setengahnya.”
Aku menyengir sambil menyerahkan nasi padang dengan lauk ayam bakar.
“Dian apa kabar, ya?” Itu pertama kalinya aku membahas Dian setelah bercerita kepada Agung tentang pertengkaran kami sewaktu Saat itu Bapak masih dirawat di ruang ICU.
Suapan Agung terhenti di depan mulutnya. Mungkin dia tidak menyangka aku tiba-tiba bertanya tentang Dian. “Kalau yang kamu maksud dengan kabar itu dia masih marah atau tidak, berarti kabarnya buruk. Terakhir kali aku mencoba membujuk dia untuk paling tidak mencoba membuka block WhatsApp, dia mengancam tidak akan mau bicara denganku seumur hidupnya.”
“Oooh, gitu. Enggak usah nyebut-nyebut aku di depannya kalau begitu.”
“Aku bukan tidak mau mendamaikan kalian berdua, ya. Tapi Dian masih marah banget sama kamu. Aku tidak mau harus memilih di antara kalian berdua. Kalian sama pentingnya buat aku. Lebih baik tetap begini saja dulu. Aku membagi diriku ke kalian.”
“Aku bukan mau didamaikan sekarang kalau dia masih marah banget. Aku cuma nanya kabar Dian, kok. Yang penting dia baik-baik saja.”