Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #35

Bab 35 Longing Has Nothing To Do With Distance


 

Di antara begitu banyak peristiwa hidup yang membuatku seperti tidak punya waktu untuk mengeluh, timbul satu masalah besar. Dunia sedang disibukkan oleh virus corona. Aku tidak pernah punya waktu untuk menonton televisi. Urusan dengan Alexios dan laporannya ke pihak kepolisian, lalu menyusul pemeriksaan pertamaku, menyita semua perhatianku.

Setelahnya pun, Bapak dengan segala kompleksitas dan masalahnya sudah menunggu. Belum lagi saat pulang ke rumah aku harus berhadapan dengan Ibu dan Kak Tata. Entah mengapa Kak Tata dan Kak Andi tidak kembali ke rumah mereka. Mungkin tidak enak meninggalkanku begitu saja berdua dengan Bapak. Padahal kalau dipikir-pikir, setelah Bapak pulang ke rumah, dengan adanya mereka bertiga di rumah saja, aku tidak pernah sekali pun meminta bantuan.

Menyiapkan makanan untuk Bapak, memindahkannya ke kursi roda untuk latihan dan berangkat ke Bizarre, memandikan Bapak dua hari sekali, mengurus kotoran dan mengganti popok, apa pun yang berkaitan dengan Bapak, kulakukan sendiri. Makin sering melakukannya, aku makin tidak membutuhkan bantuan dari orang lain.

Jadi ketika aku mengantar Bapak untuk kontrol ke rumah sakit dan fisioterapisnya membahas tentang Covid-19 dengan serius padahal kemarin hanya terasa seperti cerita yang terlalu jauh, aku merasa sangat bodoh dan abai.

“Makin banyak ditemukan kasus sejak pertama kali diumumkan awal Maret kemarin. Dik Runi keluar ke mana-mana pakai masker, ya. Jangan lupa selalu cuci tangan dengan sabun setiap keluar rumah. Mandi kalau perlu. Jangan menyentuh wajah mulut atau hidung dengan tangan. Intinya proteksi,” kata Mas Ramadh.

“Terus nanti Bapak bagaimana kontrolnya, ya?”

“Ini akan jadi kontrol Bapak yang terakhir. Rumah sakit menutup rawat jalan untuk pasien-pasien yang kondisinya stabil. Jadi yang emergensi saja yang ke rumah sakit.”

“Terus latihan Bapak bagaimana, ya, Mas?”

“Dik Runi punya nomor saya, kan? Nanti saya kirimkan latihan tambahannya lewat kiriman video saja, ya. Kita komunikasi lewat WhatsApp. Risikonya terlalu besar kalau kalian mondar-mandir di rumah sakit.”

“Baik, Mas. Terima kasih banyak, ya.”

 

***

 

Sekembalinya dari rumah sakit, aku mencari tahu tentang virus corona. Aku menyusuri akun Twitter milik tenaga kesehatan yang aku ikuti sejak lama. Hasil penelusuran membuatku bergidik. Ada banyak sekali kematian di mana-mana. Italia bahkan sudah menetapkan lockdown kemarin karena tingginya angka kematian. Aku ke mana saja?

Di Indonesia sendiri sudah mulai ada perdebatan apakah akan menerapkan lockdown juga atau tidak. Mereka yang pro sebagian besar adalah tenaga kesehatan. Sedangkan yang kontra mempertanyakan kesiapan negara menjamin rakyatnya dari sisi ekonomi jika lockdown dilakukan.

Apa karena teror virus corona Pak Jati tidak ke Makassar, ya? Pikiran random yang terlintas barusan membuatku mentertawakan diriku. Bisa-bisanya di antara horor makhluk yang tak kasatmata ini, aku malah berpikir tentang Pak Jati.

Aku mencoba berhitung jika misalnya lockdown dilakukan di Indonesia. Bisa saja hanya dilakukan di Pulau Jawa yang kasusnya paling tinggi, tetapi tidak menutup kemungkinan pelaksanaannya hingga ke Makassar juga. Bizarre sudah pasti harus tutup. Pengiriman buku tidak diragukan lagi akan terhambat bahkan dihentikan untuk sementara.

Kuliahku nanti bagaimana? Aku lalu menghibur diriku dengan berpikir belum tentu juga aku bisa lolos SBMPTN tahun ini. Sungguh pemikiran yang optimis!

Aku berbaring di atas sofa merah Bizarre sambil berhitung atas berbagai kemungkinan. Bunyi lonceng Bapak membuatku buru-buru ke bagian belakang Bizarre. Sehabis kontrol dari rumah sakit tadi, Bapak langsung tidur. Mungkin karena kelelahan.

“Bapak sudah bangun, ya. Mau minum?” Bapak menggeleng sambil menepuk popoknya.

“Oh, Bapak BAB? Sekalian mandi sore, ya, Pak.” Aku sebenarnya tidak perlu menunggu anggukan Bapak karena bau kotoran sudah menyapa hidungku.

Mandi sore yang kumaksud hanya berupa menyeka badan Bapak dengan handuk kecil. Aku mengambil baskom lalu mengisinya dengan air dan Dettol cair. Setelah meletakkan underpad di bawah bokong Bapak, aku membuka popok lalu melipat bagian ujungnya agar bagian popok yang ada kotorannya tertutupi, sehingga aku bisa membersihkan Bapak dengan mudah.

Makin sering melakukan aktivitas ini, makin sedikit waktu yang aku butuhkan. Kurasa jika aku ikut lomba mengganti popok pasien sehabis BAB, posisi tiga besar sepertinya dapat. Begitu juga dengan keterampilan memindahkan Bapak dari dan ke tempat tidur. Dahulu aku pasti berkeringat. Kini, aku bisa melakukannya dengan mudah dan pastinya lebih cepat.

“Kita nginap di sini malam ini, ya, Pak. Pesanan buku kita tadi datang, dititip di warung Pak Bombom. Runi mau bongkar-bongkar.”

Bapak memberikan isyarat meminta papan tulis kecilnya. Dengan susah payah beliau menulis menggunakan tangan kiri.

Tidur di mana?

Pertanyaan itu bukan bermaksud menanyakan Bapak akan tidur di mana. Pertanyaan itu ditujukan untukku. Meskipun ada kamar tidur di lantai dua, Bapak tahu aku tidak mungkin tidur di atas dan meninggalkan beliau di bawah sendirian.

“Gampang. Runi bisa tidur di sofa. Atau kalau perlu di lantai sini saja pakai tikar. Nanti Runi ke rumah sebentar ngambil baju sama bahan masakan untuk makanan Bapak besok sekalian sama tikarnya.”

Bapak menuliskan satu kata yang sering sekali beliau ulangi.

Maaf.

“Iya. Bapak Runi maafin walaupun Runi enggak tahu salah Bapak apa.”

Bapak mulai menangis lagi. Kebiasaannya jika ada lonjakan emosi yang beliau rasakan.

“Eh, iya. Kata Mas Ramadh, Bapak harus mulai latihan menulis pakai tangan kanan. Supaya dibiasakan.”

Masih menggunakan tangan kiri, Bapak menuliskan kata lama.

“Ya, enggak apa-apa lama juga. Runi punya banyak waktu, kok. Mulai sekarang Bapak nulis pakai tangan kanan, ya. Kalau enggak, Bapak enggak Runi maafin.”

Bapak mengacungkan jempol kirinya.

“Bapak salat Asar dulu, ya. Runi tinggal ke rumah. Oke?” Sambil berkata begitu, aku merapikan sarung Bapak dan memakaikan kopiah di kepalanya.

Setelah menitipkan Bapak ke Mas Joko di ruko sebelah, aku mengayuh sepedaku ke rumah. Ada Ibu, Kak Tata, dan Kak Andi sedang duduk di teras.

“Bapak enggak ikut pulang, Run?” Kak Andi mewakili bertanya. Aku yakin Ibu dan Kak Tata juga heran melihatku pulang sendirian.

Lihat selengkapnya