Pak Jati benar-benar menghabiskan tiga hari bersamaku. Selama itu, aku menginap di Bizarre. Selain perasaan bahagia yang membuatku sulit tidur setiap malamnya, aku menyadari satu hal yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku bisa tinggal di Bizarre saja bersama Bapak alih-alih harus bolak-balik pulang ke rumah.
Bapak sekarang sudah punya tempat tidur di Bizarre. Meskipun aku harus tidur di lantai bagian belakang Bizarre, aku jelas lebih nyaman berada di antara sahabat-sahabat kompleks ruko Bapak daripada di rumah. Meskipun aku merasa sedikit bersalah karena makin menjauhkan Bapak dari Ibu dan Kak Tata, aku mengenyahkan rasa bersalahku hingga tak bersisa dengan keyakinan bahwa Ibu dan Kak Tata masih bisa menengok Bapak di Bizarre. Saat melakukannya pun, mereka tidak harus berbicara denganku.
Tiga hari itu aku melihat Pak Jati berkeliaran di Bizarre, melakukan kegiatan-kegiatan manusia normal. Setiap pagi dia membantuku melatih tangan dan kaki Bapak, setelahnya kami memasak di dapur. Dia tidak keberatan menemaniku menjalankan Bizarre, mencari buku untuk pelanggan, dan mengembalikan buku yang sudah selesai dipinjam ke raknya masing-masing. Setelah Bizarre tutup dan Bapak sudah tidur, kami akan ke lantai dua dan duduk di dekat jendela berbicara tentang apa saja.
Ketika dia mengatakan dia sedang menabung kenangan, sesungguhnya hal itu berlaku dua arah. Aku pun menyuji ingatan tentangnya di atas kain perasaanku. Karena dia aku mulai menulis di buku harian. Kegiatan yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan. Biasanya aku menuliskan apa pun di blog pribadiku. Namun, kenanganku dengannya adalah pengecualian. Kenangan-kenangan itu adalah sesuatu yang istimewa, mengabadikannya dengan tulisan tanganku membuatnya lebih personal, lebih lekat di hati.
Tiga hari itu juga membuatku lebih mengenal Pak Jati. Pertanyaan Agung tentang berapa usianya dahulu itu, akhirnya terjawab. Usianya 31 tahun. Aku masih berenang-renang di dalam air ketuban Ibu ketika dia sudah hampir menyelesaikan sekolah dasarnya. Dia bercerita tentang kelahiran Kirana yang bermasalah hingga hampir merenggut nyawa bocah kecil itu dan mamanya.
Aku merasakan tusukan perasaan yang membuat dadaku terasa seperti kejatuhan benda berat ketika dia berkata bahwa peristiwa itu hampir membuatnya gila. Perasaan yang mungkin mirip dengan rasa cemburu yang dibalut dengan rasa bersalah. Aku merasa merasa seperti seorang penjahat karena menyukai suami orang.
Seribu pertanyaan memenuhi benakku ketika dia bercerita tentang mamanya Kirana. Kalau perempuan itu begitu berarti baginya, lalu apa yang sedang dia lakukan denganku? Mengapa dia seperti sedang melakukan pendekatan kepadaku? Untuk apa mengatakan segala hal manis seperti menabung kenangan atau perasaan rindu? Tidakkah dia tahu bahwa hal-hal semacam itu akan membuat seorang perempuan yang hanya punya satu kali pengalaman menyukai lawan jenisnya tidak lagi menjejak bumi karena dilambungkan harapan yang berlebihan?
Pak Jati tahu tentang kisahku dan Kak Andi. Dia bahkan jadi saksi sewaktu aku menangisi kisah cintaku yang tragis itu. Lalu mengapa dia melakukan hal yang hampir mirip dengan yang Kak Andi lakukan? Membuatku merasa menjadi perempuan yang penting dalam hidupnya padahal tidak ada yang bisa dia lakukan tentang itu? Ya, mungkin ada yang bisa dia atau aku lakukan, tetapi semuanya akan terasa salah jika sedikit saja kami berusaha mewujudkannya.
Atau jangan-jangan aku saja yang berlebihan menanggapi semua yang Pak Jati lakukan? Mungkin itu hanya sekadar rasa terima kasih yang kebablasan atas insiden Kirana dahulu itu. Kalau dia memang menganggapku spesial, mengapa sampai sekarang dia tidak pernah keberatan aku tetap memanggilnya dengan sebutan Pak Jati? Maksudku, pria mana, sih, yang tidak jengah disebut bapak-bapak oleh perempuan yang anggap saja sedang dia dekati.
Seingatku, dia tidak pernah mengeluh tentang itu atau setidaknya berusaha memintaku memanggilnya dengan panggilan yang lebih menunjukkan kemungkinan hubungan asmara antara dua manusia. Ya, di film-film atau di novel-novel romantis, kan, kurang lebih seperti itu.
Dalam kasus tokoh prianya lebih tua atau mungkin posisinya sebagai atasan atau apalah, ketika ingin menunjukkan sinyal bahwa dia menyukai tokoh perempuannya, maka sang tokoh pria akan memintanya memanggil dengan nama atau sapaan yang lebih akrab. Pak Jati tidak melakukan itu. Dia senang-senang saja kupanggil dengan sapaan “Pak”.
Dengan semua kerumitan hidup yang aku punyai, pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya aku sisihkan. Aku memilih menikmati perasaan yang aku miliki saat itu. Toh, aku tidak pernah meminta, memohon atau memaksa Pak Jati untuk melakukannya. Tidak juga ada pernyataan resmi apa sebenarnya kami. Jadi aku membuat garisku sendiri. Aku perempuan yang dia sayangi karena dianggap telah menyelamatkan anaknya. Titik. Hanya itu yang membuatku mampu mencecap kebahagiaan yang ditawarkan Pak Jati dengan rasa bersalah seminimal mungkin.
Namun, meskipun begitu, hati kecilku terus saja berteriak: penjahat kecil!
Pak Jati kembali ke Jakarta di hari Jumat malam tanggal 13 Maret 2020, dengan pesawat terakhir. Aku tidak mengantarkannya ke bandara karena tidak mungkin meninggalkan Bapak sendirian.
Dia boleh saja mengatakan bahwa dia menghabiskan tiga hari bersamaku agar nantinya dia tidak terlalu merasakan rindu saat kami tidak bisa bertemu untuk jangka waktu yang lama. Namun, sore itu saat melihatnya mengemasi pakaiannya ke dalam tas, mataku berkaca-kaca. Omong kosong dengan menabung kenangan. Omong kosong dengan menabung perasaan. Aku menghabiskan saldo perasaanku setiap saat.
Bersama dengannya aku seperti sedang menikmati air gula. Manis, tetapi makin banyak yang aku teguk makin bertambah haus yang aku rasakan.
“Kenapa berdiri di situ?”
“Bizarre saya tutup.” Jawabanku tidak jelas.