Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #37

Bab 37 Not for Sale


Pak Jati benar tentang kemungkinan adanya pembatasan transportasi karena pandemi. Selama bulan Maret tahun 2020 itu, ada banyak sekali hal yang terjadi menyusul jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 yang meningkat.

SBMPTN yang sedianya dilakukan di awal bulan April beberapa kali mengalami pengunduran hingga ditetapkan akan berlangsung di bulan Juli karena pada tanggal 17 April itu, PSBB diberlakukan di Jakarta dan Makassar menyusul seminggu kemudian. Lockdown yang banyak dilakukan negara lain, tidak bisa diterapkan di Indonesia. Sehingga diambil solusi lain yaitu PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Hanya sektor tertentu dan vital yang boleh tetap dibuka dan beroperasi. Bizarre tentu tidak masuk ke dalamnya. Pada minggu ketiga bulan April, Bizarre tutup. Perekonomian luluh lantak diamuk pandemi. Bukan hanya tidak bisa menyewakan buku lagi, pengiriman buku pesananku dari luar negeri juga terhambat. Pesanan buku yang biasanya datang dalam sebulan bahkan kurang, saat pemberlakuan lockdown di beberapa negara, hingga dua bulan belum ada kabarnya.

Aku sudah sejak awal Maret memutuskan untuk tinggal di Bizarre. Setelah Pak Jati pulang, aku berdiskusi dengan Bapak dan beliau setuju kami tinggal di Bizarre saja.

Dari Kak Andi aku tahu bahwa dia dan Kak Tata memutuskan untuk tinggal di rumah menemani Ibu. Beberapa minggu setelahnya aku baru tahu bahwa mereka melakukan itu karena Kak Andi kehilangan pekerjaannya akibat PHK di perusahaannya sehingga mereka tidak mampu melunasi cicilan rumah.

Aku masih punya tabungan. Pengeluaranku hanya untuk membayar listrik dan air di Bizarre karena Pak Agus rutin membawa bahan makanan dan persediaan popok titipan Pak Jati setiap minggu.

Ruko sahabat-sahabat Bapak juga tidak beroperasi. Dari Mas Joko aku tahu mereka sepakat untuk melepaskan bangunan mereka demi bertahan hidup. Sebelum pandemi saja mereka sudah berpikir akan menjual bangunan mereka. Apa lagi setelah perekonomian terjungkal. Mereka tidak menunda lebih lama karena khawatir harga jualnya makin turun. Aku sungguh tidak habis pikir di masa ekonomi yang serba sulit masih ada yang berpikir untuk membeli beberapa ruko yang harganya tidak murah itu.

Aku tidak berani memberi tahu Bapak bahwa di antara delapan ruko di kompleks kami, hanya tersisa Bizarre yang belum terjual. Walaupun yang aku lakukan itu sebenarnya hanya menunda saja. Sahabat-sahabat Bapak tetap harus berpamitan saat mereka selesai mengosongkan rukonya masing-masing.

Bapak menangis dan berkabung selama dua hari. Aku anggap itu berkabung karena tatapan matanya kosong saat aku suapi. Bapak juga tidak membunyikan loncengnya sama sekali. Bahkan saat beliau buang air besar.

Di hari ketiga barulah beliau mulai menulis tiga kata: uangmu masih ada? Ternyata Bapak bukan hanya memikirkan sahabat-sahabatnya, tetapi juga memikirkan keberlangsungan hidup kami yang terpisah dari Ibu dan Kak Tata.

Aku terpaksa bercerita kepada Bapak tentang pemberian rutin Pak Jati yang menekan pengeluaran kami cukup besar. Tatapan di mata Bapak membuatku merasa yakin bahwa ada banyak sekali pertanyaan yang ingin beliau ajukan tentang Pak Jati. Aku ingin sekali berkata kepadanya bahwa berapa banyak pun pertanyaan di benak Bapak, pertanyaanku masih lebih banyak.

Bapak bertanya tentang keadaan di rumah yang kujawab dengan jujur bahwa aku tidak tahu bagaimana kondisi mereka. Dalam hati aku menambahkan aku juga tidak peduli sama sekali. Untuk apa memedulikan orang yang tidak melakukan hal yang sama?

Aku sadar aku yang membuat jarak dan kubu. Aku juga sadar mereka tidak ingin tahu apa pun tentangku. Namun, aku sama sekali tidak paham apa hubungan ketidakpedulian mereka terhadapku dengan perlakuan mereka kepada Bapak. Kemarahan mereka terhadapku tidak seharusnya memengaruhi sikap mereka kepada Bapak. Mereka belum lupa, kan, Bapak strok dan tidak memegang kendali apa pun terhadap dirinya?

Kak Andi mungkin masih selalu bertanya tentang Bapak atau apakah kami baik-baik saja, tetapi dia melakukannya di belakang Ibu dan Kak Tata. Aku masih kadang-kadang berharap Ibu atau Kak Tata tiba-tiba datang menengok Bapak. Keberadaanku sebagai penghalang mereka rasanya sedikit tidak masuk akal. Bukannya selama ini mereka sudah mengabaikanku selama bertahun-tahun? Mengapa tidak mengabaikanku lagi sekali atau dua kali saat menengok Bapak?

Pak Jati mengirimkan pesan setiap hari. Dia bermurah hati kepadaku dengan tidak mengungkit-ungkit tentang ciuman yang dia curi dariku ketika terakhir kali kami bertemu. Ciuman pertamaku. Saat menelepon pun dia hanya bertanya tentang keadaanku dan Bapak. Tidak ada yang lain.

Bukan berarti aku ingin dia menyebut tentang ciuman itu karena sampai hari ini saja jantungku masih berdetak lebih cepat setiap kali aku mengingatnya. Dia benar-benar memberiku pekerjaan rumah untuk dipikirkan.

Selama masa PSBB aku menyibukkan diri dengan belajar untuk persiapan SBMPTN. Ditiadakannya Tes Potensi Akademik untuk tahun itu memberiku keyakinan bisa menaklukkan SBMPTN. Rasanya baru kali itu aku belajar dengan sukarela tanpa harus diteror Dian. Ah, Dian. Aku merindukan omelan dan keabsurdannya.

Setelah PSBB di Makassar berakhir dan aku kembali membuka Bizarre, semuanya tidak kembali seperti dahulu lagi. Peminjaman dan pemesanan buku macet. Orang waras mana pun pasti tidak akan menghabiskan uang untuk sesuatu setidak penting membeli atau menyewa buku di masa yang serbatidak menentu.

Bulan puasa tahun 2020 itu aku lewati berdua dengan Bapak. Secara teknis sebenarnya aku melewatinya sendirian karena Bapak tidak aku izinkan untuk berpuasa. Terkadang di malam-malam setelah salat tarawih di lantai dua, aku akan menangis karena mengingat bulan puasa tahun sebelumnya. Saat itu kami masih berempat. Dan betapapun abainya Ibu kepadaku, ramadan tetap saja ramadan, lebaran tetap saja lebaran. Bulan puasa dan lebaran pantasnya dirayakan bersama keluarga. Bukan terpisah dalam jarak yang kurang dari 1 kilometer.

Lalu kejutan terbesar tahun itu atau sepertinya abad itu, terjadi di minggu ketiga bulan Mei menjelang lebaran. Ibu, Kak Tata, dan Kak Andi datang ke Bizarre! Aku sampai terlonjak di atas sofa ketika mereka bertiga melewatiku. Aku baru saja selesai memasak untuk makan siang Bapak.

Aku memberi tahu Bapak tidak di lantai dua, tetapi kemudian menyadari itu adalah hal yang konyol. Tentu saja mereka akan tahu. Tidak mungkin melewatkan Bapak di atas tempat tidur saat mereka mencapai tangga.

Aku menunggu dengan perasaan waswas. Dan betapa pun ceramah ustaz di masjid selalu berpesan untuk tidak berburuk sangka, kedatangan mereka yang begitu tiba-tiba membuatku mempertanyakan niatnya. Kak Andi bahkan tidak menyebut tentang ini saat semalam sebelumnya kami bertukar pesan di WhatsApp.

Apa yang membuat Ibu dan Kak Tata yang tengah hamil tujuh bulan itu mau menyeret kaki mereka ke Bizarre?

Aku mengirimkan pesan kepada Pak Jati yang dibalas dengan panggilan telepon.

Lihat selengkapnya