“Gung, besok bisa nitip Bapak enggak? Aku ada yang mau diurus.”
“Bisalah. Kuliah online ini. Mau ngurus apaan?”
Aku menceritakan kedatangan Ibu and the gang, meminjam istilah Agung.
“Run, kamu mau ke rumah terus menghadapi Ibu sendirian?”
“Aku enggak mungkin bawa Bapak. Nanti tekanan darahnya naik, Gung. Toh aku cuma mau menyampaikan apa keputusan Bapak.”
“Kalau menurutku, sih, Bapak harus ikut. Misalnya kamu ke sana sendiri pun, aku yakin Ibu pasti akan nyamper Bapak lagi di Bizarre. Sama saja, kan?”
Aku terdiam karena menyadari kebenaran di dalam argumen Agung. “Iya, sih. Tapi dengan aku duluan yang ke sana, Bapak tidak perlu berhadapan dengan efek kejut pertama atas keputusannya. Ibu pasti ngamuk.”
“Ya, terserah kamu kalau begitu.”
***
Bapak ikut.
Itu dua kata yang Bapak tulis ketika aku mengatakan akan ke rumah untuk memberi tahu Ibu keputusan Bapak tentang Bizarre. Agung menyengir di belakang Bapak.
“Bapak di sini saja. Riskan untuk keluar lagi banyak virus begini.” Aku mencari-cari alasan.
Bapak tidak menjawab apa-apa, tetapi beliau memandangku tanpa berkedip.
“Oke, kalau begitu biar Ibu sama Kak Tata yang ke sini lagi. Bapak tidak usah keluar.”
Aku mengirimkan pesan kepada Kak Andi dan mengatakan Bapak ingin berbicara.
Aku tidak membalas pesan dari Kak Andi yang isinya Ibu dan Kak Tata sedang sibuk melakukan sesuatu. Yang punya kepentingan adalah Ibu dan Kak Tata jadi sudah seharusnya mereka yang mendatangi Bapak. Bukan sebaliknya.
Ibu, Kak Tata, dan Kak Andi muncul di depan Bizarre menjelang Zuhur. Agung yang sedang duduk di sofa bersamaku, berdiri meninggalkan kami berlima.
Tanpa basa-basi aku langsung membuka percakapan begitu kami semua sudah duduk. Aku duduk di bangku kecil bersebelahan dengan Bapak. Ibu, Kak Tata, dan Kak Andi duduk di sofa merah di hadapan kami. Wajah Kak Andi seperti menyiratkan bahwa dia tidak ingin ada di sana.
“Bapak tidak setuju Bizarre dijual.”
Bapak menyodorkan dua lembar kertas yang dilipat empat. Saat kubuka, tulisan tangan kiri seperti cakar ayam yang besar-besar dan tidak teratur Bapak terpampang di atas kertas putih polos itu. Aku mengernyit dan bertanya-tanya kapan Bapak menulis surat itu.
Di ujung kiri atas tertulis angka yang menandakan halamannya. Aku mulai membaca.