Aku pikir setelah Bapak dengan tegas menolak menjual Bizarre, Ibu atau Kak Tata tidak akan mencoba melakukan hal yang sama lagi. Paling tidak, tidak dalam waktu dekat. Namun, ternyata aku meremehkan tekad mereka berdua. Atau mereka memang sangat membutuhkan uang hasil penjualan Bizarre.
Ibu dan Kak Tata datang lagi ke Bizarre keesokan harinya. Dan keesokan harinya lalu besoknya lagi. Padahal di hari ketiga mereka datang itu adalah hari raya Idul Fitri. Mereka datang setiap hari meskipun tahu akan pulang dengan hasil yang sama setiap kali.
Hanya Kak Andi yang bermaaf-maafan denganku. Ibu dan Kak Tata mungkin tidak merasa perlu memberiku maaf atau tidak merasa ada salah kepadaku ketika mereka mengabaikan ajakanku untuk menjabat dan mencium tangan mereka.
Kalau hari itu aku mati sebelum Ibu dan Kak Tata memaafkanku, aku akan mendebat malaikat habis-habisan dengan mengatakan aku sudah berusaha, tetapi mereka berdua menolak memberi maafnya.
Aku membiarkan mereka berdua melakukannya tanpa berkomentar apa pun selama beberapa hari. Di hari kelima aku merasa mereka sudah keterlaluan. Mereka datang setiap hari setelah aku tidak tahu mereka sudah ke mana saja sebelumnya di tengah-tengah masa pandemi. Di hari kelima itu juga aku akhirnya menyuarakan kekhawatiranku. Kepada Kak Andi tentu saja.
“Kak, Bapak itu ada penyakit penyerta. Tolong bilangin Ibu sama Kak Tata maskernya jangan dibuka saat ngomong sama Bapak. Bapak saja yang tidak ke mana-mana maskernya tidak pernah lepas kalau ngomong sama orang lain.”
Kak Andi mengembuskan napas panjang. Sedikit banyaknya, aku paham maksud desahannya itu. Ibu dan Kak Tata yang sedang kesal karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan bukanlah manusia ramah yang bersedia menerima masukan positif. Namun, Kak Andi tetap berdiri dan melangkah ke bagian belakang Bizarre tempat Bapak sedang berbaring di atas tempat tidur dan Ibu serta Kak Tata sedang merongrong beliau.
Bertepatan dengan itu Agung masuk ke dalam Bizarre. Dia menunjuk mobil Kak Andi yang terparkir di luar sambil memberiku cengiran. Biasanya, setiap kali berkunjung ke Bizarre, Agung akan langsung mandi. Sejak virus corona menebar terornya, Agung melakukan hal itu tanpa aku minta.
Sewaktu aku memuji tindakannya itu, dia melengos sambil berkata, “Aku ngelakuin ini untuk Bapak, ya. Bukan untuk kamu.”
Hari itu, Agung tidak langsung mandi seperti biasa. Dia hanya berdiri di dekat pintu. Dia bahkan tidak berani mendekatiku yang berada di balik meja panjang. Mungkin dia tidak enak tiba-tiba melewati Ibu and the gang dan Bapak saat menuju ke kamar mandi lalu terpaksa harus mendengar percakapan keluarga yang akrab.
Saat menatap Agung berdiri sambil bersandar di pintu aku berpikir betapa orang lain yang tidak memiliki pertalian darah dengan Bapak seperti dia, mau merepotkan dirinya demi menjaga Bapak. Aku bukan hanya berbicara menjaga dalam konteks menemaniku mengurus Bapak, tetapi juga sebisa mungkin menjaga dirinya dari kemungkinan menularkan virus yang bisa jadi menempel di tubuhnya.
Lantas mengapa sulit sekali bagi Ibu dan Kak Tata untuk melakukannya? Mengapa mereka tega sekali datang setiap hari setelah entah dari mana saja mereka lalu mengobrol dengan Bapak sambil melepas maskernya? Aku saja yang nyaris tidak pernah keluar dari Bizarre tidak pernah melepas maskerku saat mengurus Bapak. Atau aku yang terlalu berlebihan menyikapi virus ini, ya?
Anggap saja mereka berangkat dari rumah langsung tanpa singgah di tempat lain. Agung juga berangkat dari rumahnya dan langsung ke Bizarre, tetapi dia memiliki kesadaran untuk sebisa mungkin mencegah dirinya sebagai orang yang membawa virus.
“Itu mobil yang jadi masalah?” Agung mengarahkan telunjuknya ke mobil Kak Andi.
“Yoi.”
“Lumayan itu harganya.”
“Makanya setelah mereka berdua PHK, cicilannya mencekik leher. Sudah disuruh jual juga sama Bapak. Tapi Kak Tata enggak mau.”
“Karena gengsi itu, ya?”
“He-em. Katanya malu sama orang-orang kalau sampai ketahuan menjual mobil untuk bertahan hidup, karena mereka tidak lagi mampu membayar cicilannya. Tapi enggak malu merongrong Bapak setiap hari.”
Agung mengangguk-angguk lalu mulai mengutak-atik telepon selularnya. Aku juga melanjutkan membaca buku Mario Vargas Llosa, Who Killed Palomino Molero. Setelah beberapa menit Agung bertanya, “Kok mereka lama, ya?” Sepertinya Agung mulai lelah berdiri.
“Tadi datangnya telat. Biasanya jam sembilan. Ini jam sebelas baru datang. Mungkin habis silaturahmi ke mana dulu sebelumnya.”
“Ooo ... pantas. Padahal tadi ini aku sudah jalan santai supaya tidak harus ketemu mereka kayak kemarin. Harusnya jam segini, kan, mereka sudah selesai sama Bapak. Biasanya butuh berapa lama, sih?”
“Biasanya, sih, setengah jam juga sudah beres. Bapak, kan, enggak pernah menanggapi mereka. Tiap datang, pasti Bapak menutup matanya. Sana kalau berani, coba ingetin Ibu waktunya sudah habis.”
Agung memberiku tatapan mencelanya. “Lah, kamu saja enggak didengerin. Apa kabar aku?” Aku mengikik.
Aku berhenti tertawa ketika Kak Tata melangkah mendekatiku. “Jangan seenaknya nuduh aku bawa virus, ya. Makin lama makin ngelunjak kamu!”
Aku langsung menatap Kak Andi. Perasaan aku hanya memintanya menyampaikan ke Kak Tata dan Ibu untuk memasang maskernya saat berbicara dengan Bapak. Belum sampai di level menuduh.
“Jangan kurang ajar. Kami tidak ada yang bawa virus. Kami tidak ada yang batuk atau demam.” Itu ucapan Ibu.
“Kami yang keluarga inti kamu curigai bawa virus. Tapi orang asing bebas berkeliaran di sini.” Aku dan Agung sama-sama tahu siapa yang dimaksud orang asing oleh Kak Tata. Siapa lagi kalau bukan Agung yang sedang berdiri sambil menunduk di dekat pintu.