Aku memang baru membaringkan badanku di atas kasur sekitar pukul setengah satu. Namun, alarm tubuh selama beberapa bulan terakhir otomatis membangunkanku setiap pukul empat. Aku membasuh wajahku sebelum memulai memasak. Kukeluarkan nasi sisa semalam dari lemari es untuk nasi gorengku dan Agung. Bapak seperti biasa menu paginya adalah bubur manado
Aku mencuci beras dan memipil jagung manis kemudian memasukkannya ke dalam panci. Sambil menunggu buburnya matang, aku memotong sayuran untuk dicampurkan ke dalam bubur. Bayam, kangkung, kacang panjang, daun kemangi, dan labu kuning. Aku memasak dua kali lebih banyak dari biasanya karena ada Agung.
Setelah selesai dengan sayuran untuk campuran bubur, aku mengerjakan sayuran untuk makan siang dan malam Bapak. Biasanya sebelum azan aku sudah selesai dengan sayur. Bahan makanan untuk makan siang dan malam baru aku masak menjelang waktu makan Bapak agar saat dihidangkan masih hangat.
Saat sedang mencicipi rasa bubur, Agung turun dari lantai dua dengan rambut acak-acakan dan bekas liur di pipi kirinya.
“Wuah, bubur manado!”
“Cuci muka sama gosok gigi dulu, igh! Liurmu ke mana-mana.” Agung menurut.
“Aku kalau kentut agak gede, Bapak kebangun enggak, ya?” tanya Agung sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Pertanyaan Agung menyadarkanku bahwa tidak seperti biasanya, Bapak belum bangun. Mungkin karena tidurnya lebih larut semalam. Bapak terbiasa tidur sekitar pukul delapan malam, paling lambat pukul sembilan.
“Kalau bunyinya mungkin tidak. Baunya, nih, yang tidak bisa diprediksi.”
“Semalaman aku kentut-kentut gara-gara kamu ngasih ubi goreng, nih.”
“Yee, siapa suruh makan banyak-banyak.”
Saat azan Subuh berkumandang, mata Bapak masih terpejam. Aku sebenarnya tidak tega membangunkan, tetapi Bapak harus salat. Nanti tidurnya bisa dilanjutkan setelahnya. Aku memasukkan sayuran terakhir untuk bubur manado; kangkung dan bayam. Setelah mengaduk sebentar, aku menutup panci, dan mematikan kompor.
“Pak, bangun. Sudah azan. Salat dulu nanti sehabis itu tidur lagi.”
Tidak ada respons. Aku melangkah mendekati Bapak sambil memasang maskerku.
“Pak, bangun ....”
Aku menyentuh punggung tangan Bapak untuk kemudian menyadari satu hal. Bapak demam! Kulitnya terasa panas. Setelah aku perhatikan, napasnya lebih cepat dibandingkan biasanya. Aku meletakkan tanganku di dahi Bapak untuk memastikan bahwa beliau benar-benar demam.
Ya, tentu saja dahinya juga sama panasnya, Runi! Memangnya bisa, ya, manusia tangannya panas banget, tetapi dahinya normal. Aku langsung dikepung rasa panik. Hanya satu yang terlintas di kepalaku. Jangan-jangan Covid-19!
Aku langsung menggedor pintu kamar mandi.
“Napa, Run?”
“Buruan, Gung! Bapak panas banget!”
Agung tidak menjawab, tetapi guyuran air di kloset menjawab permintaanku.
“Panas gimana?” tanyanya bodoh.
“Ya, panas, Gung. Demam.”
Dia menatapku beberapa saat. Sepertinya kecurigaan kami sama. Dia memelesat ke lantai dua sepertinya untuk mengambil masker.
Agung melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan tadi, meletakkan tangannya di dahi Bapak. “Iya panas.”
“Terus gimana?”
“Kita Subuh dulu baru jalan ke rumah sakit. Oke?”
Aku hanya mengangguk pasrah.
Itu adalah salat Subuh paling tidak tenang seumur hidupku. Bukan juga berarti sebelum itu aku selalu khusyuk banget saat salat. Namun, Subuh yang satu itu berbeda. Aku bisa merasakannya.
Aku sangat bersyukur Agung menginap malam sebelumnya. Setelah tujuh ruko yang lain dijual, aku praktis sendirian di blok kami. Aku dan Agung mengenakan dua lapis masker sebelum memindahkan Bapak ke kursi roda. Karena tubuh Bapak lunglai, aku berdiri di bagian depan kursi, berjalan mundur sambil memegang badan Bapak dan Agung mendorong kursi rodanya.
Aku berhenti sebentar dan terdiam saat sudah berada di dekat mobil Agung.
“Ayo, tunggu apa lagi?” Agung sudah menyusupkan kedua tangannya di bawah ketiak Bapak.
“Kamu enggak apa-apa nyentuh-nyentuh Bapak?”
Agung menatapku sebelum berkata dengan ragu-ragu, “Ini cuma demam.”
“Gung ....”
“Run, ayo. Memangnya kamu bisa mindahin Bapak sendiri? Lagian ini udah kadung meluk Bapak juga. Ayo buru!”
Aku mengangkat kaki Bapak dan bersama Agung memasukkan Bapak ke dalam mobil. Kalau bisa aku tambahkan, dengan susah payah dan membuat napas kami tersengal-sengal. Bapak berat banget!
Saat aku dan Agung memindahkan tubuh Bapak, satu pikiran aneh terlintas. Ini kalau ada orang yang melihat kami dari kejauhan, kami terlihat seperti sepasang pembunuh berantai yang sedang berusaha memindahkan mayat korbannya.