Aku tidak ingat kapan aku pernah dibelit oleh dua perasaan yang sama besarnya di saat yang bersamaan, kesedihan dan kemarahan. Sebenarnya aku bukan orang yang betah menyimpan kemarahan untuk waktu yang lama. Aku tipe orang yang lebih memilih menyimpan kesedihan berhari-hari alih-alih rasa marah. Selama ini setiap kali aku marah kepada Kak Tata atau Ibu, setelah dibawa tidur, kemarahan itu tidak lagi tersisa.
Namun, setelah mengetahui bahwa Ibu and the gang-lah yang menyebabkan Bapak berbaring tidak berdaya di dalam ruang isolasi, kemarahan itu terus bercokol di dalam hatiku. Saat kupikir aku sudah mulai berdamai, hanya butuh bayangan Ibu yang berkata aku kurang ajar karena menuduhnya membawa virus atau bayangan Kak Tata yang dengan bodohnya menganggap sesama keluarga tidak mungkin saling menularkan virus, untuk membuat marahku kembali menggelegak.
Pesanku yang terakhir tidak ada yang dibalas entah oleh Ibu, Kak Tata atau Kak Andi. Aku sampai berharap mereka bisa merasakan semua keluhan dan kesakitan yang Bapak rasakan.
Keluarga pasien sebenarnya tidak diizinkan menunggu di rumah sakit 24 jam. Jadi aku berdiri di luar ruangan isolasi Bapak. Sesekali berdiri di dekat pintu masuk jika aku cukup beruntung sebelum diminta pergi oleh perawat. Sisanya aku duduk diam di dalam mobil Agung.
Semua hal itu membuatku jadi orang yang berbeda. Bahkan aku sendiri merasa asing dengan diriku. Biasanya aku tidak pernah egois dan lebih memilih menyusahkan diriku sendiri daripada merepotkan orang lain. Namun, dengan Bapak di ruang isolasi dan segala kemungkinannya, aku menerima semua kebaikan yang bisa orang lain tawarkan.
Aku memohon kepada Kak Hairul untuk meminta kawannya yang menjabat sebagai kepala IGD agar aku tidak sering-sering diminta menjauhi ruangan isolasi Bapak. Aku melarang Agung pulang dan meninggalkanku sendirian. Aku membiarkan Pak Jati melalui perantaraan Pak Agus melakukan semua hal yang pasti akan aku tolak di lain waktu. Aku tidak peduli. Aku hanya memikirkan Bapak.
Beberapa kali aku bahkan berdebat dengan perawat.
“Dik, keluarga pasien dilarang berkeliaran di sini. Silakan keluar.”
“Ada Bapak saya di dalam sana, Suster.”
“Saya tahu. Tapi sudah begitu peraturannya.”
“Saya pakai masker, kok, Suster.”
“Kawan-kawan saya juga pakai masker. Pakai APD level 2 bahkan. Tapi tetap saja kena.”
“Saya tidak peduli kalau saya juga kena Covid. Saya cuma mau dekat sama Bapak. Bapak pasti sedih sendirian. Nanti Bapak mikir saya tidak sayang lagi sama dia. Tolong, Suster. Saya ini anaknya. Keluarganya.” Aku sudah mulai menangis.
“Bukan hanya adik saja yang punya keluarga di ruang isolasi.”
“Iya! Tapi hanya Bapak yang sayang sama saya, Suster.” Tangisku makin kencang dan aku mulai histeris. Suster yang mengenakan hazmat suit bergeming.
“Sudah, Run. Ayo balik ke mobil. Maafkan sahabat saya, Suster.” Agung menarikku menjauh.
Air mata dan ingus membasahi wajahku. “Aku benci sama Ibu! Benci sama Kak Tata! Benci sama Kak Andi! Kenapa bukan mereka saja yang ada di sana? Kenapa harus Bapak? Ini tidak adil. Mereka yang berengsek, mereka yang jahat, mereka yang pertama kali kena corona, tapi kenapa Bapak yang harus menanggung semuanya.”
Aku terduduk di halaman rumah sakit. Tidak peduli dengan kenyataan bahwa ada makhluk tak kasatmata penyebab penyakit di mana-mana. Aku justru ingin positif terkena Covid sekalian.
Agung tidak berkata apa-apa. Dia hanya terus memelukku, berusaha menenangkan.