Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #42

Bab 42 Ketika Bapak Berpulang


Bapak pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Tanpa pelukan. Namun, terkadang tidak butuh banyak hal untuk mengakhiri sesuatu. Hanya pergi. Begitu saja. Karena sesungguhnya tidak ada yang bisa membahasakan ucapan perpisahan.

Saat ditinggalkan orang yang dekat dengan kita, sering kali kita berpikir kematian merenggut kebahagiaan kita. Namun, yang sesungguhnya terjadi kehidupanlah yang melakukannya. Kematian tidak pernah melakukan apa-apa. Dia hanya berdiam di ujung jalan. Menunggu kehidupan menghampirinya. Entah berjalan lambat-lambat atau berlari bergegas menghampiri. Atau kita akan bertemu dengan kematian dalam sekejap mata, itu jika kamu cukup beruntung.

Aku ingin mengirimkan kabar tentang kematian Bapak lewat grup WhatsApp dari pihak Ibu dan dari pihak Bapak. Biar Ibu, Kak Tata, dan Kak Andi tahu beritanya dari sana saja. Namun, Agung mengingatkanku tentang kemungkinan keluarga akan datang berbondong-bondong padahal protokolnya meminta sesedikit mungkin orang yang mengantarkan ke permakaman.

Jadinya aku memutuskan untuk menelepon Pak Jati saja.

"Assalamu alaikum. Bapak barusan berpulang." Aku tidak menunggu salamku dijawab.

Hening sesaat di ujung telepon sebelum aku mendengar embusan napas Pak Jati. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Saya ikut berduka cita, Sayang. Agung ada, Run?"

Aku menyerahkan ponselku kepada Agung dan memilih berdiri menatap para perawat mengurus jenazah Bapak. Semua barang bapak yang ada di ruang isolasi akan dimusnahkan. Aku menatap piyama Bapak yang aku kenakan penuh rasa syukur.

Aku tidak akan bisa berpamitan dengan layak kepada Bapak. Jangankan untuk memeluk, melihatnya dikafani saja aku tidak diperbolehkan. namun, aku menghibur diriku sendiri bahwa perpisahan yang terbaik adalah perpisahan tanpa kata-kata. Aku tidak yakin ada kata yang sanggup menggambarkan kehilanganku.

Yah, ini yang terbaik!

Agung menyerahkan ponselku kembali.

"Kata Agung kamu lebih tenang sekarang," ucap Pak Jati.

"Iya. Tadi habis mandi setannya langsung kabur, Pak."

"Run, jangan lupa makan, ya. Hubungi Pak Agus kapan saja kamu butuh sesuatu."

"Iya, Pak. Terima kasih untuk hotelnya. Untuk semuanya." Aku mengakhiri percakapan dengan Pak Jati.

Sekitar pukul setengah dua dini hari, jenazah Bapak dimasukkan ke dalam liang. Aku berusaha mengingat-ingat di mana posisi makam Bapak, tetapi gagal. Saat aku meminta bantuan Agung, dia meminta syal yang aku lilitkan di leherku lalu memberikannya ke petugas jenazah agar diikatkan di nisan Bapak sebagai penanda untuk memudahkan keluarga yang ingin berziarah nantinya.

Ketika sampai di Bizarre, bau makanan basi langsung menyambut hidung kami.

"Bubur manado!" Aku dan Agung mengucapkannya bersamaan.

Kami melangkah ke bagian belakang Bizarre yang semua posisi barangnya masih sama seperti saat kami tinggalkan beberapa hari yang lalu. Ada satu panci bubur yang sudah berbusa, potongan sayur yang belum sempat diolah, dan ranjang Bapak.

"Itu sudah aman?"

"Iya. Kata suster tadi virus corona tidak bisa hidup lama kalau tidak nempel di manusia. Ini sudah lima hari. Sudah mati semua virusnya."

"Ayo kita bersih-bersih kalau begitu," putus Agung

"Kamu mau beresin yang mana, Gung?"

"Tempat tidur saja."

Kami bekerja dalam diam. Aku membersihkan dapur dan mencuci piring. Agung mengurus tempat tidur Bapak. Dia memasukkan seprai, sarung bantal, sajadah, sarung, selimut dan bantal Bapak ke dalam kantong plastik berukuran besar. Rencananya besok akan kami bawa ke penatu.

Aku tidak bisa mencegah air mataku saat membuang bubur manado yang tidak sempat Bapak makan. Tidak akan ada lagi kesibukan di dapur subuh-subuh. Aku bahkan tidak tahu kapan aku akan kehilangan tempat ini selamanya.

Sebelum salat Subuh, kami sudah selesai. Lumayan cepat, mungkin karena mengerjakannya tidak pakai mulut alias sambil mengobrol.

Kami akhirnya bisa berbaring meluruskan badan setelah salat Subuh. Aku menatap langit-langit kamar dan menangis tanpa suara. Dua buah buku tulis yang biasa dipakai Bapak untuk latihan kuletakkan di sisi kiri kepalaku.

"Run, kamu boleh, kok, menangis keras-keras. Berteriak juga boleh. Kamu tadi hebat banget menerima kematian Bapak."

"Aku sebenarnya tidak terima, Gung. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa."

"Sekarang bagaimana?"

Lihat selengkapnya