Dian menarikku hingga kami sama-sama duduk kemudian dia memelukku erat-erat. Kami menangis selama beberapa waktu. Agung memilih keluar sambil berkata sesuatu tentang membeli sarapan setelah sebelumnya menggerundel “Dasar perempuan!”
“Ian, maafin aku, ya.”
“Aku juga minta maaf. Benar kata Agung persahabatan itu perlu diuji. Agar setelahnya semakin kokoh.”
“Tahu dari mana Bapak meninggal?”
“Siapa lagi? Agunglah. Dia merangkum kisah hidupmu yang mengenaskan dalam beberapa kalimat. Membaca pesannya membuatku merasa seperti orang jahat.”
“Dia ngetik apa memangnya? Aku pengin tahu.”
Dian menggeser layar ponselnya beberapa kali sebelum mulai membacakan pesan Agung.
“Aku tidak tahu apakah ini penting untuk kamu atau tidak. Bapaknya Runi baru saja meninggal di ruang isolasi pasien Covid. Beberapa bulan terakhir ini hidupnya berat. Februari awal Bapak kena strok. Tidak bisa bicara, tidak bisa jalan. Runi sendirian ngerawat Bapak. Benar-benar sendirian sampai dia harus tinggal di Bizarre. Seminggu sebelum Bapak meninggal Ibu dan kawan-kawan merongrong Bapak setiap hari supaya Bizarre dijual. Dari mereka bertiga juga Bapak kena Covid. Mereka tidak kenapa-kenapa, Bapak yang tidak pernah ke mana-mana yang kena imbasnya.”
“Singkat, padat, dan jelas. Agung banget.”
“Aku mau versi lengkapnya,” pinta Dian.
Dan begitulah, pertemanan kami yang sempat rusak kemarin dipersatukan tanpa ada bekas lecet sama sekali dengan satu aktivitas, bergibah.
Agung datang dan mendapati kami sedang membicarakan Ibu dan Kak Tata.
“Bagus sekali kelakuan kalian. Baru baikan sudah langsung bergosip bikin dosa.”
“Ini bukan gosip, ya. Ini kenyataan,” protes Dian.
“Nih, makan dulu. Karena ngomongin orang butuh tenaga.” Agung menyerahkan kantong plastik berisi tiga bungkus makanan.
“Gung, piring.” Aku dan Dian mengucapkannya secara bersamaan. kami saling menatap untuk kemudian tertawa.
“Tahu begini kalian saya biarin saja diam-diaman,” rutuk Agung, tetapi tetap turun ke dapur untuk mengambil piring.
Kami makan sambil mengabaikan nasihat orang tua untuk tidak mengobrol saat sedang makan. Terlalu banyak cerita yang harus Dian kejar agar dia tidak tertinggal terlalu jauh dalam percakapan kami.
Aku mungkin kehilangan Bapak hari itu, tetapi aku mendapatkan kembali sahabatku. Bukan berarti aku senang seperti itu, hanya saja ternyata Tuhan Mahaadil. Dia memberiku sedikit kebahagiaan untuk hiburan atas kehilangan besarku.
***
Dian menggantikan Agung menemaniku di Bizarre. Saudara kandung dan sepupu Ibu mengunjungiku di Bizarre karena mereka tidak bisa menyatakan bela sungkawanya ke rumah. Kalau boleh jujur aku jenuh dengan segala pertanyaan tentang kronologis Bapak meninggal. Untuk apa menanyakan yang sudah meninggal? Mengapa tidak bertanya hal-hal yang lebih berguna seperti bagaimana keadaanku misalnya?
Selain karena aku tidak terlalu paham penurunan kondisi Bapak di ruang isolasi, mengulang cerita tentang kronologis saat Bapak pertama kali sakit membuatku makin merasa sedih. Namun, di atas segalanya, seberapa pun tidak nyamannya itu semua, masih lebih baik daripada keluarga intiku yang sama sekali tidak menghubungiku.
Aku menjalani hariku tanpa Bapak tidak selalu dengan menangisi kepergian beliau. Aku masih bisa tertawa bersama Agung dan Dian. Masih bisa fokus belajar untuk persiapan SBMPTN. Masih bisa tidur dengan nyenyak. Namun, aku tahu ada yang hilang dari hidupku. Aku tidak pernah sama lagi.