Seperti yang sudah kuprediksi sebelumnya, tidak akan terlalu lama sebelum Ibu mengumumkan akan menjual Bizarre. Toh, memang itu yang beliau dan Kak Tata inginkan sejak lama. Mereka bahkan tidak merasa perlu untuk memberi tahu aku secara langsung. Walaupun untuk itu mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Kurang lebih aku yang memulai melakukan hal itu. Terlepas dari aku melakukannya karena mereka memang sama sekali tidak menunjukkan kepedulian terhadap Bapak, aku memahami keputusan Ibu.
Kak Andilah yang meneleponku untuk mengabarkan hal tersebut. Awalnya aku ragu-ragu menerima panggilannya, karena pada dasarnya aku sudah memutuskan hubungan dengan mereka bertiga sejak kematian Bapak. Namun, Agung dan Dian memintaku untuk menerimanya. Aku menggeser simbol telepon berwarna hijau dan menekan speaker-nya supaya Agung dan Dian bisa ikut mendengar.
“Ya, halo.”
“Halo, Run. Ibu sudah menghubungi orang yang mau membeli Bizarre.”
“Kak Andi di mana ini? Kenapa menelepon? Enggak apa-apa kalau Ibu atau Kak Tata dengar?”
“Aku di luar, Run.”
“Hasil swab-nya sudah keluar, Kak?”
“Iya. Alhamdulillah sudah negatif semua.”
“Oh, alhamdulillah kalau begitu.”
“Run, maafin aku soal Bapak, ya. Aku senang kamu mau mengangkat teleponku.”
“Kak Andi menelepon hanya mau ngabarin itu? Itu bukan berita baru, Kak.”
“Iya. Aku hanya mau kamu siap-siap. Kalau Bizarre dijual, kamu bagaimana?”
“Harusnya, sih, saya melawan, Kak. Tapi kayaknya tidak ada gunanya juga.”
“Maksudku kamu akan tinggal di mana? Selama ini, kan, kamu tidur di sana. Kalau jadi dijual artinya kamu harus keluar.”
“Rumah yang sekarang Kak Andi tinggali itu masih punya Bapak. Jadi saya masih bisa kapan saja tinggal di sana, kan?”
“Oh, itu. Iya pasti. Kamu bisa kembali ke rumah. Tapi ....”
Aku paham maksud Kak Andi dan berterima kasih dia sudah mau repot-repot mengingatkanku. Mau susah-susah memikirkan aku nanti bagaimana.
“Kak Andi beneran mengira saya mau mempertaruhkan akal sehat untuk kembali tinggal di sana?”
“Eng, kalau kamu tidak kembali ke rumah, terus mau tinggal di mana?”
“Masih banyak pelataran masjid yang menganggur, Kak.” Aku mencoba bercanda.
“Runi, serius. Ibu sudah ngobrol sama pembelinya. Mereka sudah janji ketemu kalau isolasi Ibu selesai.”
“Iya enggak apa-apa. Sebahagianya Ibu saja. Kak Andi tenang saja. Saya punya banyak orang yang mau menampung anak yatim, kok.”
“Ini bukan hanya soal tempat tinggal, Run. Rencana kuliahmu bagaimana?”
“Itu masih harus nunggu lolos SBMPTN, Kak.”
Kak Andi tidak menjawab lagi.
“Kalau Kak Andi khawatir soal biaya hidup, saya sudah kerja dari umur saya delapan tahun.”
“Aku tahu sudah banyak menyakiti kamu. Sengaja atau tidak. Aku juga tahu tidak bisa membantu banyak. Kamu lihat sendiri karena aku tidak bisa bantu apa-apa itulah makanya Tata sama Ibu memaksa menjual Bizarre. Tapi kalau kamu butuh apa-apa, kabari aku, ya.”
Dian dan Agung melengos bersamaan.
Aku ingin sekali berkata bahwa yang butuh bantuan itu Kak Tata dan Ibu. Bukan aku. Namun, aku menghargai niat Kak Andi. Dengan dia meneleponku saja, dia sudah menghadapi risiko kemarahan istrinya kalau sampai ketahuan.
“Kak Andi fokus untuk lahiran anak saja. Yang lain bisa menunggu. Oke? Kalau tidak ada yang lain, saya mau ada yang dikerjakan dulu.”
Lalu tanpa menunggu jawabannya, aku mengakhiri panggilannya.