Bizarre Love Story

Syaa Ja
Chapter #46

Bab 46 Menepi

Ada banyak sekali yang ingin aku tanyakan dan katakan kepada Pak Jati. Aku bisa memilih menyampaikannya dengan bahasa tulisan atau lisan. Aku sama baiknya dalam dua hal itu. Namun, setelah berpikir dalam dua setengah jam perjalanan Makassar-Jakarta aku memutuskan untuk tidak melakukan apa pun. Aku hanya akan memblokir nomornya dari kontakku.

Sebenarnya tidak ada yang benar-benar bisa menjadi alasan kemarahanku kepadanya. Sejak awal aku sudah tahu dia lelaki beristri. Salahku sendiri kegeeran hanya dengan sedikit perhatian. Kalau bisa aku tambahkan dia tidak pernah berjanji apa pun secara gamblang kepadaku. Semua hanya berupa kode-kode. Kode yang datang dari seorang pria. Begitu itu kaum pria selalu menuduh kami sebagai kaum penebar kode.

Pak Jati juga tidak ada kewajiban untuk menjelaskan kepadaku apa saja yang ingin dia beli bahkan jika itu termasuk Bizarre. Itu uang dia. Dia juga hanya menawarkan, hak untuk menolak tawarannya tetap ada di tangan pemiliknya alias aku.

Lantas mengapa dengan segala analisis logis di kepalaku, aku masih merasa sakit dan terluka? Itu karena urusan hati tidak pernah kenal logika.

Ada banyak sekali percakapan di dalam kepalaku yang membawaku pada satu kesimpulan aku memang harus pergi dari kehidupan Pak Jati. Atau dia harus pergi dari kehidupanku.

Agung dan Dian menemaniku di Jakarta hingga pertengahan September. Kami berpisah dengan janji akan bertemu setiap tahun di tempat-tempat yang berbeda. Setelahnya, aku benar-benar sendiri.

 

***

Profile picture milik Agung terpampang di layar ponselku. Mungkin dia mau memberi tahu bahwa dia sudah sampai.

“Udah sampai di rumah?”

“Iya. Kamu kenapa?”

“Aku kenapa?”

“Enggak usah sok-sok balik bertanya dengan mengulang pertanyaanku. Kamu kenapa sama Pak Jati? Kenapa nomornya kamu blokir?”

Aku sedang menimbang-nimbang untuk berbohong dengan mengatakan bahwa aku tidak ingin berhubungan dengan lelaki yang sudah menikah dan menghitung-hitung berapa persen Agung akan memercayai jawabanku itu ketika dia memperingatkanku, “Jangan coba-coba bohong, ya. Aku sudah dua minggu menahan diri untuk tidak bertanya di depan Dian.”

Aku menceritakan semuanya kepada Agung. Itu pertama kalinya aku menyesali keputusanku berada jauh dari sahabat-sahabatku. Tidak ada sentuhan fisik dari mereka yang bisa menenangkanku.

“Kamu cemburu, Runi.”

“Aku boleh, ya, cemburu?”

“Apa sih yang tidak boleh kalau urusannya dengan hati?”

“Kamu belum dengar penjelasan dia, lho.”

Lihat selengkapnya