"Kak Tata itu anak kandung Bapak dari istri pertamanya. Ibu kandung Kak Tata meninggal saat melahirkan. Bapak bertemu Ibu dalam kondisi sedang hamil dua bulan tanpa suami. Ibu dihamili oleh pemuda mabuk di kampungnya. Pemuda itu kemudian mati dikeroyok warga. Sejak tahu kalau dia hamil, berkali-kali Ibu berusaha menggugurkan kandungannya. Setelah tidak berhasil, Ibu bahkan mencoba membunuh dirinya. Bapak yang mengetahui kisah Ibu memutuskan untuk menikahinya. Lima bulan kemudian aku lahir."
Aku menyeruput jus sirsak di hadapanku sebelum melanjutkan ceritaku.
"Itulah sebabnya mengapa meskipun aku anak kandungnya, Ibu sangat membenciku. Aku adalah anak laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Ibu membalaskan sakit hatinya kepadaku. Ibu menolak memberiku ASI dan lebih memilih demam dan menggigil karena infeksi di payudaranya. Ibu juga tidak mau menggendongku sama sekali. Belum cukup sampai di situ, Ibu mencurahkan kasih sayangnya kepada Kak Tata dan membiarkanku melihat perbedaannya."
Dian memelukku sambil menangis. Aku juga menangis ketika mendengar cerita itu dari Bapak. Beliau terpaksa menceritakannya karena beberapa sepupu jauh menyebutku anak pemabuk. Namun, aku sudah selesai dengan semua rasa sakit yang Ibu dan Kak Tata timbulkan di hari aku memutuskan menjual Bizarre.
"Kapan Kak Andi tahu tentang ini?"
"Sewaktu dokter menyarankan cangkok ginjal dari keluarga terdekat. Tata langsung mengatakan tidak bisa karena golongan darah mereka berbeda. Satu hal membawa ke hal yang lain dan akhirnya Tata bercerita tentang rahasia keluarganya. Saat itulah aku merasakan rasa bersalah yang paling besar dalam hidupku karena apa yang pernah aku lakukan kepada Runi."
"Dari sana berarti asalnya semua rasa tidak percaya diri yang kamu punyai, Run. Bayangin, ditolak sama ibu sendiri." Agung mengusap punggung tanganku.
"Iya. Apalagi kalau saudaramu seperti Kak Tata. Habis sudah."
"Ya, Allah, Run. Aku pernah menyebut soal ini waktu aku marah dulu itu. Kamu pasti sedih banget. Maafin aku, ya." Dian mengetatkan pelukannya.
"Aku malah sudah lupa kamu ngomong apa. Enggak apa-apa. Lupain aja. Itulah sebabnya kenapa Bapak mati-matian menjagaku bahkan saat beliau sudah tidak ada lagi. Bapak tahu Ibu bisa mengusirku kalau misalnya dia meninggal terlebih dahulu. Makanya dia mengabaikan kenyataan kalau Kak Tata adalah darah dagingnya."
"Tata pernah bilang kamu mengambil bapaknya. Waktu itu aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku mikirnya itu, kan, bapaknya Runi juga."
"Sudahlah. Itu tidak penting. Yang penting sekarang Ibu."
"Kamu mau mendonorkan ginjalmu, Run?" tanya Dian.
"Kenapa tidak? Asal Ibu mau. dan ginjalnya cocok."
"Tanyakan sendiri sama Ibu, ya. Kami temani," ucap Kak Andi.
***
Ibu baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap. Cuci darahnya terpaksa berhenti karena Ibu sesak berat.
Aku dengan ditemani Agung, Dian, dan Kak Andi menemui Ibu di kamarnya. Mata Ibu terpejam. Kak Tata yang duduk di sisi tempat tidur Ibu, membelakangiku. Agung dan Dian menggenggam tanganku kiri dan kanan secara bersamaan. Aku berdiri di tempat yang tidak terlihat oleh Ibu. Aku ingin mendengar keinginannya tanpa harus terprovokasi oleh kehadiranku.
"Bu, Ibu tidur?" Kak Andi bertanya sambil mengusap dahi Ibu.
"Tidak."
"Dokter mengulang lagi advisnya soal cangkok ginjal. jantung Ibu tidak kuat."
"Biayanya mahal."
"Yang penting Ibu mau dulu. Uang gampang dicari."
"Mau pakai ginjal siapa? Bukannya Tata tidak bisa, ya?"
"Ibu masih punya Runi."
"Hhh, anak itu tidak akan mau." Ketika mendengar Ibu mengatakan itu, mataku sudah terasa panas.
"Kalau Runi mau, Ibu bagaimana? Supaya Ibu cepat sembuh bisa main sama Akila lagi."
Ibu diam tidak menjawab.
Aku memberanikan diri untuk maju agar Ibu bisa melihatku. "Runi bersedia memberikan satu ginjal untuk Ibu."
Ibu membuka matanya dan menatap ke arahku. "Saya lebih baik mati." Lalu Ibu memalingkan wajahnya.
Air mataku menetes. Seharusnya aku segera pergi dari sana. Namun, aku menguatkan diriku untuk berkata, "Tawaran itu berlaku seumur hidup kapan pun Ibu mau."
Aku memutar badanku dan berjalan meninggalkan Ibu.