Beberapa hari sebelum keberangkatan ke Jakarta, Theo memutuskan untuk berangkat dari Jatinangor dini hari agar terhindar dari macetnya jalan tol. Theo akan membawa mobilnya dan menjemput Joy di rumahnya pada pukul tiga pagi. Selain itu, ia juga memerintahkan Joy untuk mengecek kembali barang-barangnya sebelum berangkat. Joy menuruti segala instruksi dari Theo dengan baik karena ia lebih berpengalaman soal merantau di kota lain. Theo sudah dua tahun merantau di Jakarta sebagai residen spesialis kedokteran jiwa.
Joy menanti kedatangan Theo dengan sabar di ruang tamu sejak tengah malam. Kedua orangtuanya sudah menyuruhnya untuk tidur sejak jam sembilan, tetapi Joy tidak dapat tertidur. Ia merasa sedih dan cemas karena tidak pernah merantau sebelumnya, tetapi di sisi lain ia juga antusias untuk memulai hidup baru. Joy menghabiskan waktu menunggu Theo dengan mencari tahu berbagai tempat makan, mall, supermarket, dan tempat bermain di dekat apartemen mereka. Selain itu, ia juga mencari tahu lokasi kantor-kantor penerbit tempat ia melamar kerja. Namun, melihat profile dari kantor-kantor penerbit itu membuat perasaannya jadi tidak tenang. Kecemasan akan gagal dalam wawancara perekrutan karyawan pun menyelimuti pikirannya. Akhirnya Joy memutuskan untuk berhenti membuka internet dan memilih untuk membaca novel favoritnya saja.
Membaca novel selalu membuatnya lupa waktu dan segala masalah. Tanpa ia sadari, jam dinding sudah menunjukan pukul tiga pagi. Joy yang tenggelam di dalam cerita novel tidak menyadari ponsel yang terus bergetar di atas meja. Sedangkan, di depan rumah ada Theo yang mulai kehilangan kesabaran. Ia sudah menunggu dan menelpon Joy selama sepuluh menit. Setelah usahanya yang kesepuluh, Theo memutuskan untuk keluar dan langsung mengetuk pintu rumah. Begitu Theo berada di halaman depan, ia melihat siluet Joy membaca buku di ruang tamu. Theo menghela napas, “Kebiasaan” ucapnya pelan.
Sesampainya Theo disana, ia mengetuk jendela dekat tempat Joy duduk sebanyak satu kali dan membuat Joy yang tengah asik dalam novelnya pun tersentak. Ia menoleh dan akhirnya melihat Theo yang sudah berada di depan rumah. “Theo!” ucapnya sambilnya memegang dadanya. Theo menunjuk jam tangannya untuk mengisyaratkan bahwa mereka sudah telat. Joy melihat jam dinding dan baru sadar kalau sudah jam tiga lewat lima belas. Ia pun bergegas membuka pintu, “Maaf Te,” ucap Joy begitu pintu terbuka. Namun, Theo hanya memicingkan kedua matanya. “Sebentar, aku pamit sama ibu dan bapak dulu,” Joy pun langsung lari menuju kamar orangtuanya dan meninggalkan Theo sendirian di depan pintu.
Setelah mereka berpamitan dengan kedua orangtua Joy, Ayah Joy langsung mengangkat salah satu koper anaknya dan berjalan keluar. Theo dengan sigap pun membantu Ayah Joy membawa koper yang lain menuju mobil. Joy dan ibunya pun bertatapan dan berpelukan sekali lagi sebelum ia berangkat. “Aku berangkat ya bu,” ucap Joy sambil memeluk ibunya dengan erat. Ketika pelukan mereka terlepas, Joy melihat mata ibunya yang berkaca-kaca. “Duh, sana deh sana cepet berangkat,” kata ibunya sambil menyeka air mata yang mau keluar. Joy pun tersenyum dan menarik koper terakhir dan berjalan menuju mobil Theo.