“Tidak tidur, Dam?”
Anak kecil dengan rambut kusut itu berjalan gontai ke arahku, mengusap bekas tidurnya.
“Susah tidur yah.” Adam beranjak ke sebelahku, memanjat dipan bambu. “Ayah sendiri, sudah tengah malam begini belum tidur?” ia melirik jam besar di dalam ruang tamu. Aku menggeleng, tersenyum mengacak rambutnya.
“Ayah belum mengantuk Dam.” Aku sedikit menggeser posisi, memberikan tempat duduk lebih lapang untuknya. “ Mana ibu?” lanjutku, merengkuh pundaknya. Ia manja menyenderkan kepala di badanku.
“Sudah tidur.”
Aku ber oh pelan, mengambil cangkir kopi di sisi lain. Beberapa saat kembali hening. Aku melirik Adam. Anak kedua ku itu paling susah tidur malam. Aku tersenyum beberapa saat kemudian. Sama saja dengan ayahnya. Aku kembali meletakkan cangkir kopi.
“Apa itu yah?” Adam memajukan kepala, melongok ke sebelahku.
“Kopi. Kau mau?”
Adam menggeleng.
“Kau tidak suka kopi?” aku meringis, menutupkan tangan ke mulutnya yang tiba-tiba menguap. Adam mengangguk pelan.
“Aih, Dam. Kau belum pernah merasakan nikmat pahitnya kehidupan kalau kau belum mencoba minuman ini.”
Adam menatap tidak paham. Aku tersenyum.
“Pahitnya kehidupan?”
Aku mengangguk.
“Memang kehidupan itu ada rasanya ya yah? Ada pahit, manis, asam, kecut, begitu?”
Aku tertawa.