Hari itu, malam takbiran. Puluhan tahun silam.
Aku menyenderkan punggung pada sebuah ruko yang sudah tutup sejak lepas maghrib tadi, seperti barisan ruko di kanan kirinya. Dingin. Sambil menikmati gemerlap kembang api yang merekah-rekah di langit. Membuat terang –sesekali. Sebentar kemudian sekelompok anak kecil berceloteh riang melintas di hadapan, membawa benda yang hampir sama di tangan-tangan mereka. Mercon dengan berbagai bentuk dan ukuran.
Aku meringis, mengikuti langkah mereka dengan ujung mata.
Beberapa saat kembali sepi –jelas hanya perasaanku saja, nyatanya gema takbir dari speaker masjid dan surau masih saling bersahutan di tingkahi suara petasan yang terdengar kemudian meledak-ledak. Aku menopang dagu di lutut, membiarkan angin malam dingin meresapi kulit.
Sekelompok anak kecil lewat lagi. Aku mendongakkan kepala. Kali ini mereka semua sepantaran denganku. Salah satu dari mereka yang berjalan paling belakang menoleh, membalas tatapanku.