Lima hari sebelum malam takbiran.
Pintu rumah berderit. Seseorang membukanya. Aku langsung melompat dari atas kasur, riang berlari keluar kamar. Ah, itu pasti ibu. Tadi siang selepas dzuhur, ibu pamit sambil mengacak rambutku, bilang mau pergi pengajian. Awalnya aku merengek minta ikut. Tapi ibu melarang karena aku belum mandi dan bersiap-siap. Aku terus mengotot, sampai akhirnya terdiam ketika ibu berjanji akan membelikan mainan. Aku pun menyerah dan memutuskan untuk tetap tinggal di rumah.
Aku membuka pintu kamar tak sabaran, menerka-nerka apa yang ibu bawa. Berteriak riang, berlari menuju ruang tamu. Melompat bagai menyambut artis bintang film begitu sampai di sana. Tapi, eh?
Aku terdiam beberapa saat. Mulut yang sudah terbuka bersiap meneriakkan nama ‘ibu’ terkatup lagi. Aku berdiri mematung sambil menatap salah tingkah begitu menyadari bukan ibu yang berdiri di balik pintu, melainkan pakcik Dar dan bu Asih.
“M ... mana ibu?” aku lirih bertanya, menatap adik ibu dan istrinya itu bergantian. Pakcik Dar tersenyum. Tapi aku tahu itu terlalu di paksakan.
“Ikut dengan Pakcik sebentar.”
Aku menurut saja walau kepala masih di penuhi tanda tanya. Pakcik Dar lembut menggaet tanganku, lantas mengajak masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan aku terus bertanya di mana ibu, tapi pakcik hanya tersenyum sambil menjawab, “sebentar lagi kita menemui ibu.”
Lima belas menit kemudian mobil berhenti persis di parkiran sebuah bangunan besar, entah berlantai berapa. Aku langsung membuka pintu mobil dan mendongak melihat ujung bangunan itu. Amat besar. Bercat hijau putih. Aku terus mengitarkan pandangan, tertumpu kemudian pada taman kecil yang terbentang di sepanjang pagar luas bangunan itu. Indah.
Pakcik Dar menggaet tanganku, mengajak masuk ke dalam. Aku urung bertanya lagi.
Sampai di pintu masuk aku mulai merasakan sesuatu yang ganjal. Ternyata bagian dalam bangunan ini berbau aneh. Langkah-langkah kecilku sedikit terseok mengikuti langkah pakcik Dar yang panjang-panjang. Mataku menyapu sekeliling. Beberapa orang dengan pakaian serba putih, belasan orang yang entah mengantre apa, belasan lainnya yang terlihat duduk berkumpul dalam satu tempat, sampai kasur-kasur tinggi yang berbaris di salah satu pojok ruangan.
Seseorang melintas di sebelahku dengan memakai kursi roda, di tuntun seorang perempuan di belakangnya. Aku mengernyitkan dahi, menoleh ke belakang, menatap bibi Asih yang sibuk menyapukan kain di hidung. Kedua matanya sembab.
“Ini di mana pakcik?”
Aku bertanya lagi, ganti menatap pakcik yang masih memandang lurus-lurus ke depan. suara langkah sepatunya memantul-mantul sepanjang jalan. Begitu pula dengan sandal bibi Asih, tapi tidak dengan sandalku yang sudah hampir aus termakan aspal jalan.
“Rumah sakit.” Pakcik Dar menjawab pelan, menghentikan langkah. Aku semakin curiga. Rumah sakit? Walaupun belum pernah ke sini aku sudah sering mendengarnya. Bukannya rumah sakit itu tempatnya orang sakit? Kemarin si Yul teman kelasku tidak masuk kelas satu Minggu karena demam berdarah, kata teman-teman dia di rawat di rumah sakit. Hendrik yang jatuh dari tangga ketika memanjat pohon jambu, dia juga di bawa ke rumah sakit. Tangannya patah. Lantas, kenapa pula aku di bawa ke sini? Bukankah aku tidak sakit? Tapi, tunggu. Tadi pakcik bilang apa? Mau menemui ibu? Ada apa dengan ibu?
Pakcik mengetuk pintu sebuah ruangan di depannya. Aku menatap pintu kaca gelap itu tak berkedip. Sepuluh detik. Seseorang membukanya. Ia memakai pakaian serba putih, sama seperti yang kulihat sepanjang perjalanan tadi. Hanya bedanya ia memakai kain penutup hidung dan mulut. Orang itu mempersilakan masuk. Pakcik Dar tersenyum tipis, tipis sekali. Raut wajah pakcik Dar terlihat begitu cemas.
“Bagaimana keadaannya pak Dokter?” pakcik Dar masih urung melangkah, menatap sosok itu lamat-lamat. Yang di tanya hanya menggeleng, nafasnya terdengar berat.