Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #4

Akademi CH

Aku semakin mempercepat langkah, meninggalkan jauh-jauh mobil putih pakcik Dar di tepi jalan. Berpura-pura tuli, seakan tidak ada suara pakcik Dar yang memanggil-manggil.

Semakin jauh. Aku di untungkan dengan keadaan. Pakcik Dar yang hanya menatap gelap di depannya menghentikan langkah sebentar. Mengedarkan pandangan. Aku yang sudah begitu jauh meninggalkan mobil juga menghentikan langkah, tersengal mengatur nafas. Menengadahkan kepala, menatap langit gelap. Gemuruh kembali terdengar. Aku menopang lutut dengan kedua tangan. Tersengal. Menoleh sekali lagi ke belakang,

“ASGAAR!!”

Suara itu terdengar dekat memang, tapi suasana yang begitu gelap tidak begitu membantu penglihatan. Aku kembali melanjutkan langkah, hati-hati. Jangan sampai pakcik Dar mendengarnya. Tapi, sial, sebuah mobil sedan melintas cepat. Memberi tahu sebentar posisiku yang dekat sekali dengan bahu jalan. Pakcik Dar yang sudah hampir kehilangan jejak melihat siluetku dari kejauhan, kembali mengejar. Aku pontang-panting keluar dari bahu jalan, melompati sebuah pagar, memotong jalan menuju sebuah gang kecil yang terlihat.

“ASGAARRR ..!!!”

Rintik hujan mulai berjatuhan. Satu –dua, menderas sebentar kemudian. Aku tak acuh, terus membelah tirai hujan. Sesekali mengedarkan pandangan, mencari tempat paling aman untuk berteduh.

Sebuah rumah tua terlihat kemudian dengan lampu temaram. Aku berlari menuju terasnya, menyelamatkan pakaian yang hampir basah total. Meringkuk di salah satu pojok yang paling gelap, sambil terus menatap awas sekeliling. Walaupun sebenarnya pakcik Dar pasti sudah kehilangan jejak dari tadi, bahkan bisa jadi sudah kembali ke mobil. Aku menatap jutaan rintik hujan yang menghunjam deras di luar teras.

Lima belas menit berlalu tanpa ada tanda-tanda kedatangan pakcik Dar. Aku menghela nafas. Menggigil tiba-tiba. Sial, bajuku yang hampir kuyup baru terasa begitu dingin sekarang. Aku menggigit bibir, merapatkan pelukan pada kedua lutut. Berusaha mengusir jauh-jauh rasa dingin yang menjalar.

Ah. Aku menghentakkan kaki, cepat berdiri tegap. Tidak, aku tidak boleh berdiam diri, angin malam begitu dingin menusuk tulang. Aku harus bergerak. Tapi, ke mana? Malam sudah hampir larut, di tambah hujan deras pula. Kemungkinan menemukan penghuni rumah yang masih terbangun tentulah sangat sulit. Dan, kalaupun ada, malu sekali meminta untuk menginap. Bersama keluarganya. Ah, omong kosong.

Aku beringsut menjauh dari pojok teras berlantai tanah itu. Melirik sekilas tembok batanya yang hanya di rekatkan dengan tanah liat. Kelihatannya rumah ini memang berumur tua. Di desaku rumah paling tua paling tidak sudah di rekatkan dengan semen. Dan jelas, sekarang aku sudah berada di desa tetangga.

Aku terus berjalan, menatap hujan yang berkelip tertimpa sinar lampu teras beberapa rumah di seberang. Berjalan mondar-mandir, tidak jelas. Mengulurkan tangan, memainkan air mengucur dari atap genteng. Tidak sadar seseorang sudah membuka pintu dari tadi, menatapku tajam.

Aku terus memandang kosong ke depan, bertopang dagu. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan sekarang. Sedikit ragu, hendak kembali ke rumah atau tetap pada keinginan sebelumnya ;pergi jauh-jauh dari keramaian malam takbiran. Dan akan kembali lagi esok paginya. Tapi, bagaimana lagi? Pakcik Dar dan hujan yang tiba-tiba turun memaksaku untuk pergi sampai sejauh ini.

Aku kembali memainkan air, benar-benar tidak sadar seseorang sudah berdiri sempurna di belakang.

Hanya genangan air di bawah kakikulah yang memberi tahu bahaya itu.

Aku menoleh, terkejut bukan kepalang sepasang tangan kekar sudah bersiap mencengkeram dari belakang. Aku refleks merunduk, hendak kabur. Tapi orang itu sudah lebih dulu mencengkeram kerah bajuku. Aku meronta minta di lepaskan, orang itu malah menyeringai sambil menyeretku kembali ke teras.

“Arrggh.. lepaskaan..!!” Aku meronta, memukul-mukul lengan besarnya. Orang itu membekap mulutku yang terus berteriak. Kuat sekali, sampai aku kesulitan untuk bernapas. Orang itu menendang pintu rumahnya. Aku melirik sebentar. Gelap. Aku terus meronta. Orang itu memukul keras wajahku, meninggalkan bekas merah di sana. Aku mengaduh, kesal dengan ruangan yang begitu gelap itu. Tanpa penerang, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Tidak sengaja mataku menangkap sebuah benda putih yang samar terlihat di tembok. Sakelar lampu! Benar, itu akan sangat membantu. Aku berontak, melupakan pusing yang menjalar akibat pukulannya. Menggigit telapak kasarnya kuat-kuat.

“Argh ....!” Orang itu mengerang sambil mengibaskan tangan. Aku cepat melepaskan cengkeramannya sekuat tenaga. Orang itu mencoba kembali meraih kerah bajuku. Aku sudah lebih cepat berkelit, menghambur ke arah benda putih itu. Dan, benar saja.

CTAK!

Seisi ruangan langsung terang benderang. Aku menelan ludah melihat apa yang ada dalam ruangan itu. Dua orang perempuan dan seorang laki-laki tergeletak lemas di lantai. Aku ganti melihat sosok itu, seorang laki-laki bertopeng putih. Entah bagaimana raut wajahnya begitu aku berhasil mengetahui apa yang ia perbuat, sosok bertopeng itu sudah mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik punggungnya. Menggeram pelan.

Aku sudah sempurna mundur beberapa langkah, gemetar membayangkan apa yang akan ia perbuat dengan pisau itu. Yang aku tahu, ia pasti akan membuatku sama seperti tiga orang yang tergeletak tadi. Oh Tuhan, kenapa semua menjadi begini?!

Di luar, petir menyambar bersahutan.

Aku sudah meraih sebuah ember dari pojok ruangan, melemparkan sembarang ke arahnya. Orang itu menghindar, semakin mempercepat langkah. Ia tahu, tidak perlu terburu-buru untuk menghabisi anak sekecilku. Lagi-lagi entah bagaimana raut mukanya, ia sudah sempurna mengacungkan pisau. Aku terkesiap, memejamkan mata melihat kilau tajamnya.

“Toloongg ....!!” Tidak ada pilihan lain, ini jalan terakhir. Aku berteriak lagi, mencoba membangunkan siapa saja di luar sana. Tapi sosok bertopeng itu tetap tampak begitu tenang, berjalan mengikutiku yang gemetaran merangkak mundur. Jelas saja, ia di untungkan oleh keadaan. Hujan yang begitu deras di luar seakan menelan suara teriakan tadi.

Lihat selengkapnya