Aku menatap lampu besar yang sudah mati di atas hampir tidak berkedip.
“Ini tempatnya?” Raju mengangguk, berdiri tidak jauh dariku. “Kau kira seperti apa? Ya hanya begini, tidak ada bagus-bagusnya. Oi, jangan kau kira seperti apartemen atau hotel bintang lima.”
Aku meneguk ludah, memperhatikan sekeliling yang terlihat remang. Ruangan ini luas, sangat luas malah. Di setiap pojoknya ada empat buah lilin yang menyala, berbagai macam lukisan terpasang di dinding. Begitu pula dengan ukiran yang begitu jelas menghias setiap pintu dan jendela. Ini memang persis bangunan peninggalan Belanda, seperti yang Raju jelaskan tadi saat mulai memasuki ruang utama.
“Bukan, ini sangat bagus malah.” Aku menjawab lirih, masih sibuk memperhatikan sebuah lukisan yang memperlihatkan gambar seorang wanita yang tengah duduk di atas dipan. Sekilas aku teringat ibu. Ah, kenapa malah jadi begini?
Raju menyengir, mengajakku kembali memasuki ruangan dengan penerangan temaram itu.
“Kau rapar?” Galih, yang dari tadi hanya diam berjalan di sampingku menyodorkan sebuah roti besar. Mulutnya terlihat penuh dengan roti. Aku tersenyum, meraih roti itu. Perutku memang sudah berbunyi dari tadi. Raju tiba-tiba memberi isyarat untuk berhenti. Aku yang belum sempat membuka bungkusan roti langsung menghentikan langkah, begitu pula dengan Amel. Galih yang sial, langkah Raju di depannya yang berhenti tiba-tiba membuat ia tersedak. Aku hampir tertawa kalau saja Raju tidak kembali memberi isyarat untuk tenang. Ruangan tetua sudah di depan kami.
Dua penjaga bersenjata mesin langsung menghadang. Satu di antara mereka memberi isyarat. Raju dan Amel langsung menyingkap pundak kanan, memperlihatkan luka bakar berbentuk hiu di sana. Aku menelan ludah. Jadi semua orang di sini memiliki tanda pengenal yang sama dengan hologram di seragam mereka? Galih masih sibuk mencari botol air minum. Dua penjaga itu menatap tajam. Sebentar kemudian Galih sudah ikut menyingkap baju. Hanya aku yang tidak. Dua penjaga itu galak menatapku.
“Anak baru. Kami mendapatkannya bersama seorang bertopeng. Nampaknya ia melakukan penyiksaan pada sebuah keluarga. Anak ini termasuk korban.” Raju lebih dulu menjelaskan sebelum dua penjaga itu memeriksaku. Mereka saling pandang. Satu di antara mereka mengeluarkan sebuah kalung dari saku bajunya, berjalan mendekat. Lantas memasangkannya di leherku.
“Kalung ini tidak akan membahayakanmu selagi kau tidak membahayakan kami.” Tegasnya dengan suara serak.
Dua penjaga itu kembali, mempersilakan masuk. Aku berjalan kikuk sambil takut-takut menyentuh kalung yang melingkar di leherku.
“Simpan rotimu, Asgar. Di sini kita tidak boleh membawa barang apapun meski sebutir beras. Semua benda bisa jadi membahayakan.” Raju berdesis pelan. Aku cepat memasukkan roti yang memang masih aku pegang sejak tadi ke dalam saku celana. Tetua terlihat duduk di atas kursi dengan posisi membelakangi kami, tidak jauh di depan.
“Kalian membawa anak baru anak-anak?”
Aku terkesiap, begitu pula dengan Raju, Galih dan Amel. Dari mana tetua itu tahu kalau jumlah kami bertambah satu? Raju tetap melangkah pasti, kami pelan-pelan mengikuti dari belakang.
“Duduklah!”
Kami hampir berebutan duduk di atas karpet merah yang terbentang mulai pintu masuk tadi sampai kursi tetua. Hanya Raju yang tidak, ia benar-benar terlihat dewasa. Pantas sekali menjadi pemimpin kelompok.
Kursi tetua itu berputar. Aku menahan nafas. “Apa kabar, anakku?”
Tetua itu tersenyum, tatapannya begitu tajam. Aku tidak langsung menjawab, tenggorokanku seperti kering dibuatnya. Laki-laki tua itu memang tidak begitu menyeramkan seperti yang kukira. Rambut dan pakaiannya rapi. Terkesan dari kalangan bangsawan. Hanya goresan di mata dan sepanjang pipinya sajalah yang membuat wajahnya terkesan menakutkan. Plus suara berat dan berwibawanya.
Aku hanya mengangguk, tetua itu tersenyum lagi.