Tiga tahun berlalu, keseharian di Akademi biasa saja, tidak ada seru-serunya. Hanya berlatih, berlatih, dan berlatih. Kami bagaikan tidak ada di Akademi. Pagi-pagi berangkat mandi, sarapan, berlatih, istirahat, berlatih lagi, kadang diselingi saling jahil dengan teman-teman sesama kelompok Hiu Kecil. Umur kami memang tidak jauh berbeda, paling tidak selisih satu sampai dua tahun. Akademi lebih mirip rumah sendiri (belakangan aku tahu rata-rata anak di sini memang sudah kehilangan keluarganya, di bawa serta oleh pasukan Hiu Besar). Malam selepas berlatih langsung boleh tidur, bangun besoknya pagi-pagi hari. Berbeda dengan pasukan Hiu Besar, hari-hari mereka berlatih, berlari sana-sini, tugas sana-sini, terlihat seru dan super sibuk.
Karena itulah tiga tahun terasa berlalu dengan sangat cepat. Kami anak-anak tumbuh dengan baik. Porsi latihan dan makan yang sesuai membuat tidak ada satu pun dari kami yang tidak berbadan atletis. Pandai memanjat, berkelahi, bahkan menggunakan berbagai macam senjata.
Malam ini, kami dikumpulkan di aula olahraga. Kalau aku tidak salah dengar ada sesuatu yang ingin tetua bicarakan pada kami. Ruangan seukuran lapangan futsal itu langsung ramai dengan anak-anak Hiu Kecil. Jumlah kami sekitar tiga puluhan, tidak berisik, hanya suara sepatu kami yang memantul-mantul di dinding aula. Lantas bagai di sihir, terdiam begitu tetua datang dengan enam pengawalnya.
“Selamat malam anak-anak.” Suara berwibawa itu menyapa. Mata tajamnya menatap wajah kami satu persatu. Seperti ada kekuatan gaib yang menyihir pandangan kami, membuat tidak ada satu pun yang mengedipkan mata.
“Aku tidak ingin berbicara panjang lebar. Good, aku yakin sekali kalian bukalah Hiu-hiu kecil seperti dulu lagi. Lihatlah, postur tinggi dan badan atletis kalian, itu semua sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti bahwa kalian layak naik ke jenjang berikutnya. Bukankah begitu?”
Tanpa diperintah dua kali bagai di sihir pula kami serempak menjawab, “YA!!” menyisakan suara serupa memantul beberapa kali di dinding aula sesaat sebelum hening kembali menyergap. Tetua itu berdehem pelan, tersenyum lebar.
“Kalian sudah siap menjadi Hiu Besar?”
“SIAP!!”
“Good, ini kabar baik untuk kita semua. Para Hiu Besar baru benar-benar membuat bulu kudukku merinding. Sangat mengejutkan! Baiklah, setelah ini kalian akan mendapatkan tugas masing-masing dan memulai misi pertama kalian. Tegakkanlah keadilan di muka bumi, junjung tinggi harga diri orang-orang lemah, jangan biarkan para pejabat dan orang-orang kaya memakan harta mereka!!”
Teriakan menggelegar tetua itu disambut sorak-sorai para Hiu Kecil, disusul dengan yel-yel CH yang sudah sejak lama kami hafal. Atmosfer kesatuan Crime Hunt begitu kental terasa memenuhi aula olahraga. Aku tak henti-hentinya mengedarkan pandangan, melihat bergantian Raju, Amel dan Galih. Wajah-wajah penasaran mereka terlihat bersemangat. Aku? Tak usah di tanya lagi, dari tadi aku yang paling kencang berteriak. Benar-benar tak sabaran dengan misi pertama nanti.
Setelah tetua meninggalkan tempat, kami segera menuju kamar masing-masing. Tidak perlu berkumpul lagi, misi yang diberikan sudah dikirim secara otomatis lewat hologram yang melingkar di tangan kami. Kalau diperhatikan, hologram ini lebih mirip jam tangan handphone, hanya saja lebih elastis dan transparan. Dan lebih canggihnya lagi, pergerakan kami bisa terpantau dari stasiun pusat CH sampai seluruh pulau hanya dengan hologram itu.