“Kau membawa laptop ke mana-mana, mel.” Aku merapikan ujung baju, meliriknya lewat pantulan kaca. Amel mengangkat kedua alis, menghela nafas pelan, memasukkan kembali laptop hitamnya ke dalam tas.
“Ini kuncinya, Gar. Kalau tak ada ini, akan sangat sulit menembus penjagaan sebuah perusahaan besar. Akan sangat banyak cctv, laser, bahkan sampai penerangan yang sangat menentukan kecepatan pergerakan kita. Bayangkan untuk satu vila, butuh berapa lama kita mengendap-endap. Atau kalau mau mematikan lampu, tapi, lebih rumit lagi. Harus mencari pusat tenaga listriknya, tiap detik berharga kita malah habis sia-sia. Kalau ada ini, tinggal retas.. beres. Satu vila bahkan kalau mau satu gedung pun akan padam seketika. Ini baru listrik, gar. Belum cctv dan kawan-kawannya itu. Kau tidak mau bukan mereka bisa melihat semua pergerakanmu bahkan saat temanmu itu mengupil?” Amel menepuk-nepuk pelan tasnya, menunjuk Galih di ujung kamar. Aku tersenyum melirik Galih yang melotot ke arah Amel. Mungkin ia tahu Amel mengejeknya.
“Kalian sudah siap?” Raju memperbaiki tas punggungnya. Aku, Galih dan Amel mengangguk serempak.
“Baiklah, mari berangkat!”
Kami berempat segera menuju mobil Jeep hitam yang terparkir di garasi. Raju langsung menekan pedal gas setelah kami semua berlompatan masuk. Mobil melesat meninggalkan garasi, menembus gelapnya hutan. Posisi asrama CH memang sedikit masuk ke dalam hutan dan jauh dari pemukiman penduduk. Mungkin, jika dilihat selintas seperti bangunan Belanda tua yang sudah tak berpenghuni. Tapi jika kalian masuk ke dalam, akan banyak sekali ruang bawah tanah yang disulap menjadi rumah berarsitektur Belanda.
“Apa langkah pertama kita, Ra?” Aku menatap lurus ke depan, cahaya lampu mobil menerangi beberapa meter ke depan. ٰRaju yang duduk di sebelahku menggeleng pelan.
“Entahlah, aku sendiri belum ada pengalaman. Kita atur rencana setelah sampai di lokasi.”
Mobil Jeep hitam kami terus melesat membelah keramaian jalan kota. Kalau terus dengan kecepatan yang sama, perkiraan kami sampai di lokasi satu jam ke depan. Sepanjang perjalanan aku terus membayangkan seperti apa perusahaan yang kami tuju. Sesekali bayang perbincangan aku dengan Raju malam itu melintas, entah kenapa hati kecilku selalu meragukan perkataannya. Apakah benar apa yang kami kerjakan sekarang? Ah, tidak. Ini semua demi kepentingan orang-orang lemah, bukankah memang banyak sekali orang kaya yang memakan harta mereka? Tapi, apakah cara yang kami lakukan benar? Atau bagaimana? Pertanyaan demi pertanyaan terus berkecamuk dalam hatiku, entah mana yang benar mana yang salah. Ah, sudahlah, aku harus sadar bahwa sebentar lagi misi pertamaku baru saja akan dimulai. Kalau ragu-ragu, misi akan gagal dan risiko yang diterima akan lebih besar.
“Berbelok di depan sana.” Amel mengomando dari samping, Raju mengangguk, cepat membanting setir, membuat kami terbanting ke kiri.
“Oi, pelan sedikit kenapa?” Galih bersungut-sungut setelah berhasil lolos dari himpitan tubuhku.
“Maaf.” Jawab Raju singkat, kembali memutar kemudi ke kiri. Kali ini aku yang terhimpit badan Galih.
“Oi.” aku mendorong tubuh Galih, “sengaja sekali kau.” Galih terkekeh, memperbaiki ranselnya. “Maaf. Kau tadi juga kan?”
“Barusan ini pelan Galih! Tidak harus terbanting seperti itu.”
Mobil sedikit menderu begitu keluar dari jalan aspal. Aku mendongak melihat sekitar. Ini jalan tanah berbatu, sudah sangat jauh dari kota. Pepohonan tumbuh lebat di kanan kiri jalan, walau tidak serapat sekitar asrama CH. Mobil terus melewati ratusan pohon tua tanpa mengurangi kecepatan. Aku melirik jam tangan, pukul 09.00. Apa jangan-jangan lokasi tujuan tidak jauh lagi?