Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #8

Tertangkap

Raju menahan tawa melihat kostum yang dikenakan Galih.

“Kenapa? Ada yang salah?” Galih memeriksa baju hitam bergaris putihnya, menatap Raju tidak mengerti. Raju menggeleng, masih menahan tawa. Aku pun sudah dari tadi terpingkal tanpa suara. Kalau saja tidak sedang di sini, pasti aku sudah melepaskannya kencang-kencang.

“Bagaimana yang tadi? Sakit?” Aku berkata lirih, menirukan gaya aktingnya tadi. Galih menyeringai, melotot sebal.

“Itu sungguhan, As.”                                                                       

Aku kembali membuka mulut lebar-lebar, menirukan gaya orang tertawa. Raju di sebelahku berdehem, mungkin ia kasihan dengan wajah Galih yang terlipat. Walaupun dari rautnya tampak sekali ia masih ingin tertawa.

“Ayo kawan, kita lanjutkan.” Raju melangkah keluar dari hutan. Aku memegang senter besar yang tadi mereka bawa, Galih mengikuti.

“Kita harus berakting lagi, lih.” Aku berbisik lirih, Galih tersenyum tipis.

“Asal tidak jatuh dari pohon lagi.”

Aku tidak tertawa lagi karena tiga penjaga lainnya langsung menyambut kami di pinggir hutan. Kami bertiga langsung berusaha setenang mungkin ketika salah satu dari mereka menatap tajam. Wajahnya tampak keras dan tegas.

“Dari mana saja kalian?!” Hardik penjaga itu.

“Eh, tadi kencing.” Galih lagi-lagi tanpa di perintah sudah angkat bicara, membuat kami serempak menoleh ke arahnya, juga tiga penjaga itu.

“Kencing?” Dahi penjaga itu terlipat, menoleh ke arah satu temannya yang memakai plester di pipi.

“Eh, iya, kencing. Tadi kami menjaga di sini, karena sudah kebelet akhirnya aku memutuskan untuk kencing di sini.”

“Kenapa kalian bertiga?” Penjaga itu semakin terheran.

“Karena tadi di dalam ada suara-suara, jadi aku agak lama untuk memastikan keadaan. Ternyata dua temanku ini menyusul ke dalam hutan untuk memastikan kalau aku baik-baik saja.”

“Eh?” Aku hampir tersedak air liur, apa dia bilang? Suara-suara dalam hutan? Aduh, bagaimana kalau mereka memeriksa ke dalam? Tamatlah riwayat kami.

“Tapi tenang, ternyata hanya seekor ayam. Mungkin tersesat.” Lanjut Galih dengan tenangnya, dengan intonasi seolah-olah mereka teman akrab. Penjaga itu meringis, mungkin jijik dengan gaya menyebalkan Galih.

“Baiklah, tapi lain kali jangan sungkan-sungkan untuk buang air besar di hutan juga.” Penjaga itu balik arah, diikuti dua temannya. Kami menghembuskan nafas lega. Aku hendak menertawakan Galih dengan ‘buang air besar’ nya tadi, tapi urung ketika penjaga itu kembali menoleh.

“Hei, sebentar lagi giliran jaga. Segera berkumpul di ruang C10.”

Kami bertiga saling pandang, ruang C10?

***

Raju masih berbicara sebentar sebelum menoleh ke arah kami.

“Apa kata Enam, Lima?”

Raju menggeleng, “Hanya bertanya kapan kita masuk ke dalam. Aku bilang, masih lama, mungkin setengah sampai satu jam lagi baru aku beri kabar. Mungkin dia bosan sendiri di sana. Oh ya, aku ada ide.”

“Apa?”

Raju tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya memberi isyarat agar kami mengikuti. Benar kata petugas tadi, pergantian tugas jaga. Ada puluhan petugas yang berjalan menuju arah yang sama. Memakai seragam hampir sepadan dengan kami namun ada satu hal yang berbeda, warna pada lengan kanan.

“Pasti di ujung sana mereka akan berpencar, kita harus segera memastikan dari sekarang.” Raju berkata lirih di antara lalu lalang pekerja yang lain. Aku mengangguk. Raju langsung mendekati salah satu pekerja, berbincang ringan. Sebentar kemudian kembali dengan senyum lebar.

“Benar bukan kataku, persis di ujung lorong ini kita akan berpencar. Mereka akan berkumpul sesuai tugas masing-masing. Operator dengan lengan berwarna hijau di ruang C7, Leader dengan lengan kuning di ruang C3, penjaga dalam dengan lengan abu-abu di ruang C9 dan penjaga luar di ruang C10.”

“Kau bisa mendapatkan informasi sedetail itu?” Aku masih terus melangkah, menyejajarinya.

“Gampang, tinggal berpura-pura jadi pekerja baru.”

Lihat selengkapnya