“Angkat tangan kalian!!” penjaga dengan wajah keras itu kembali menghardik, senyum sinisnya melebar. Kami tetap pada posisi masing-masing, menoleh sediktipun tidak berani. Penjaga dengan wajah keras itu menghentakkan senjata, kami menurut saja, menyerah dengan puluhan moncong senapan serbu mereka. Galih sedikit meringis memaksakan lengan kanannya, ikut mengangkat tangan.
“Letakkan senjata kalian!!” lagi-lagi penjaga itu berseru kasar, aku patah-patah meletakkan pistol yang sebelumnya kuambil dari Galih, begitu juga dengan Raju.
“Ternyata kalian pintar juga, bocah ingusan. Tapi tidak di depanku, kalian tidak lebih dari tikus-tikus got yang mengotori tempat ini saja.” Penjaga berwajah keras itu mendekatkan moncong senapannya ke arah wajahku. “Kau perlu belajar banyak lagi anak muda, mencuri tidak semudah itu.”
Aku menahan nafas, menatapnya tajam. Penjaga itu tertawa, balas menatapku. “Kenapa? Kau mau memukulku? Pukul saja, tapi jangan keras-keras, nanti wajahku semakin kuat dengan pukulanmu.” Penjaga itu mengejek sambil menepuk-nepuk rahang kerasnya. Aku mendengus pelan, membuang muka darinya.
“Oh, kau tidak tahu cara memukul? Sini, kuberi tahu bagaimana pukulan yang pelan.” Belum sempat aku menjawab, penjaga berwajah keras itu sudah melayangkan bogem mentahnya. Aku terlambat menghindar, tersungkur. Lantas meringis menahan rasa sakit, membuang ludah, membuat cipratan darah di lantai. Penjaga itu cepat menarik rambutku, membuatku kembali terduduk.
“Oh, jangan. Aku tidak mau melakukannya di sini. Lebih baik kita bertemu lagi nanti, akan kuberi teori pukulan lainnya padamu. Bagaimana?” penjaga itu terbahak, beranjak berdiri. Aku hanya bisa menunduk sambil menahan diri. Meludah lagi, darah kembali menodai lantai di bawahku. Penjaga itu berjalan menjauh.
“Antarkan mereka ke belakang.”
Tiga orang dengan penutup wajah melangkah maju, kasar memiting tangan kami dari belakang. Kami bertiga hanya bisa pasrah mengikuti langkah mereka. Aku melirik Raju, wajahnya antara pasrah dan sebal. Ganti melirik Galih, ia tak banyak menanggapi, hanya bisa mengaduh karena lengan bekas luka tembaknya ditekuk paksa ke belakang. Aku kembali menatap ke depan, rombongan penjaga itu masih menunggu.
Lima menit, kami sudah keluar dari terowongan, menuju bagian lainnya. Kali ini lapangan luas beratapkan langit gelap. Terlintas ingin membanting orang di belakangku dan berlari kabur, tapi urung ketika menyadari empat orang penjaga lainnya mengikuti kami dari belakang.
“Delapan ...” penjaga yang membekukku merapatkan wajah dan berbisik lirih. Aku terhenyak. Menoleh menatap wajahnya. Mata itu, melirik ke satu arah. Aku setengah bingung, setengah cemas, sedikit lega juga. Siapa lagi yang tahu sebutan itu selain kami berempat? Perlahan aku mulai mengikuti arah matanya. Sebelah kanan, sepucuk pistol terselip di pinggangnya. Aku tersenyum, membuat Raju yang berjalan di sebelahku menatap heran.
“Kenapa Delapan?” Raju berbisik, tetap menatap ke depan agar penjaga lainnya tidak menaruh curiga. Aku hanya berdehem, masih berhitung dengan keadaan. Penjaga di belakangku mendekatkan wajah lagi, mendesis pelan. Posisi kami tepat berada di tengah-tengah lapangan.
“Sekarang!”
DOR!
Aku sudah memuntahkan peluru ke arah penjaga yang membekuk Raju, menumbangkannya seketika.
DOR! DOR!
Penjaga di belakangku menyusul, dua penjaga di belakang ikut tumbang dengan dada berlubang. Aku melompat dan berguling di lantai, melepas satu tembakan lagi.
DOR!
Raju cepat menangkap tubuh Galih begitu penjaga di belakangnya terkapar tak berdaya. Penjaga yang tersisa cepat melepaskan tembakan beruntun, memburu penjaga yang berkhianat. Tapi tak lama, dua detik kemudian mereka ikut menyusul dengan perut dan leher berlubang. Aku dan penjaga itu menyudahinya.