Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #10

Pertarungan

“Tidak ada alasan lain, tujuan kalian pasti mengambil Lanthanum, bukan?” penjaga berwajah keras itu berdiri dari duduknya, berjalan menuju ke arah kami. Aku mundur satu langkah, mengambil kuda-kuda. Penjaga itu tersenyum, merenggangkan lehernya.

“Ah... kalian lama sekali. Aku bahkan sudah menunggu sampai badanku pegal semua. Oh ya, bagaimana dengan penjaga yang aku kirim? Kalian sudah membunuhnya?”

“Itu bukan urusanmu!” Aku yang menjawab, mendengus sebal. Penjaga itu tertawa, jarak kami tinggal beberapa langkah.

“Oi..oi, ternyata kau. Bagaimana dengan pipimu?” penjaga itu tertawa lagi, aku gemetaran menahan tanganku yang bernafsu sekali ingin membalas.

“Baiklah, silakan lewat. Kalian bisa mengambil Lanthanum sebanyak yang kalian mau.” Penjaga itu bergeser, memberikan jalan. Aku dan Raju saling pandang. Tidak mungkin, kami tidak bisa dibodohi. Beberapa saat kami hanya terdiam, menatap tajam penjaga itu.

“Lewatlah, aku menghargai jerih payah kalian.”

“Kami tidak sebodoh itu, tuan!”

Penjaga itu melirik Raju yang berseru, tertawa kecil. “Oh ya? Tapi menurutku kalian sudah bodoh dari awal.” Penjaga itu kembali ke tempatnya, kali ini merenggangkan jemari. “Sudah kubilang, kalian masih terlalu kecil untuk menjadi penjahat.”

Aku tertegun. Apa dia bilang? Penjahat?

“KAMI BUKAN PENJAHAT!!” Raju berseru, emosinya meluap. Penjaga itu tertawa lagi.

“Bukan penjahat? Lantas apa? Kalian mau mencuri bukan?”

“KAMI BUKAN PENCURI!” lagi-lagi Raju yang berteriak tidak terima. Aku hanya terdiam seribu bahasa. Pencuri? Aku mencuri? Penjaga itu tertawa lepas, mengaduh sambil memegang kepala.

“Oh Tuhan, ternyata anak zaman sekarang tidak ada yang waras.”

“Kami hanya mengambil kelebihan harta bos kalian! Diluar banyak orang miskin yang menantikan kami!”

“OMONG KOSONG!!” Penjaga itu masih berkacak pinggang, nada suaranya meninggi. “Sekarang beritahu saya, mana bukti semua ucapanmu, hah?! Mana bukti uang yang selama ini kalian kumpulkan untuk orang miskin? Lagi pula cara kalian bodoh sekali, mana kalian tahu berapa banyak yang harus kalian ambil? Bagaimana kalau lebih? Sama saja kalian mencuri!”

Aku menelan ludah, memahami kalimat penjaga itu. Tapi Raju tidak mau lagi mendengar perkataannya. Menyerang dengan tangan siap memukul.

Plak!!

Penjaga itu dengan mudah menepis pukulan Raju yang mengarah ke wajahnya. Raju tak menyerah, menarik kembali tangannya dan bersiap melancarkan sikutan. Penjaga itu merunduk, balas menyerang rusuk Raju yang terbuka. Raju hanya bergeser sedikit, tangan penjaga itu memukul angin. Raju mengambil jarak, memasang kuda-kuda. Penjaga itu menyeringai, melancarkan sapuan kaki. Raju cepat menghindar, tapi kaki penjaga itu cepat sekali. Satu tendangan lurus menghantam telak rahang Raju kemudian, membuatnya terhuyung.

Bugh!                                         

Kali ini penjaga itu ganti terhuyung.

Bugh!

Sekali lagi tanpa ampun tendangan berikutnya bersarang di perut. Penjaga itu menoleh, Amel berdiri tidak jauh darinya dengan kuda-kuda sempurna. Penjaga itu tersenyum, memperbaiki posisi. Dua lawan satu.

Amel kembali menyerang. Penjaga itu menyambut tendangan berputar Amel dengan tendangan berputar pula, hanya saja dari arah berlawanan dan lebih cepat. Amel tidak sempat mengelak, terbanting ke belakang. Raju menyusul dengan pukulan bertubi-tubi. Penjaga itu menepis dan berkelit dengan mudah, bahkan pukulan balasannya selalu masuk menghantam wajah dan perut Raju. Penjaga itu menyudahinya dengan melompat dan melancarkan tendangan depan. Raju terhempas dan menabrak kursi yang diduduki penjaga tadi, membuatnya patah sebagian.

Aku mengatupkan rahang kuat-kuat. Bela diri penjaga itu bagus sekali. Terlihat dari cara menerima serangan dan serangan baliknya yang cepat dan tenang. Walaupun sebenarnya sudah terlihat jelas dari bentuk tubuhnya yang kekar dan berotot. Aku kembali menarik nafas. Urung ikut menyerang karena perkataan-perkataan penjaga tadi masih menimbulkan banyak keraguan dalam hatiku.

Brakk!!

Sekali lagi Raju terbanting dan menabrak dinding. Darah mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya. Sebagian matanya juga ikut lebam. Penjaga itu tersenyum, merenggangkan lehernya sambil menatap bergantian Raju dan Amel yang ternyata juga sudah hampir babak belur.

“Kalian menyerangku hanya seperti bermain-main, bocah.”

Raju meringis, berdiri tertatih. Amel melakukan hal yang sama, susah payah kembali memasang kuda-kuda.

Lihat selengkapnya