Aku hanya berdiri sambil bersedekap, memandangi pintu besi berukuran lingkar diameter 1 meter itu.
“Bagaimana, Enam, ada perkembangan?” aku kembali bertanya yang ketiga kalinya. Sudah lima belas menit berlalu. Amel tetap menggeleng seperti tadi, menyeka peluh di dahi. Rahangku mengeras, membayangkan penjaga lain sedang berbondong-bondong menuju brankas tempat kami berada.
“Penjaga lain tahu kita disini?” Galih angkat bicara, ikut menatap cemas layar di hadapan Amel yang belum juga menunjukkan perkembangan. Aku mengedarkan padangan. Astaga, aku baru sadar kalau dari tadi empat cctv sekaligus mengawasi kami.
“Enam, kau tidak tahu tempat ini diawasi cctv?” aku memotong kesibukan jari Amel, membuatnya menoleh.
“Jelas sadar, Delapan. Semua cctv sudah aku atasi. Tapi itu hanya bertahan satu jam sejak kedatanganku tadi. Mungkin sekarang tinggal sepuluh menit. Kita terlalu lama di ruang perpustakaan.”
Aku membulatkan mata, “Kenapa kau tidak bilang dari tadi?” Amel kembali menatap layar dengan ribuan angka di depannya. “Kukira kau tidak perlu informasi itu.”
Dua menit hening, aku tak sabaran, mendekati pintu besi bulat itu, memukulnya. Jelas tidak ada guna, besi pintu itu tebalnya mungkin sampai satu jengkal. Yang ada hanya suara berdentum pelan dan tanganku jelas sakit.
“Lima menit lagi atau kita batalkan.” Aku menatap Amel serius. “Nyawa kita lebih berharga dari pada bongkahan-bongkahan Lanthanum sial ini.”
“Kita bisa gunakan cara lain.” Tiba-tiba Galih angkat bicara.
“Maksudmu?” kami berdua serempak menoleh, Galih tersenyum tipis.
“Kita ledakkan saja pintunya.”
“Sembarang!” aku melotot ke arahnya. “Meledakkannya sama saja dengan memberi tahu keberadaan kita. Suaranya bisa sampai kemana-mana.” Aku menatap sejurus pintu bulat sial itu. Amel mengetuk-ngetuk ujung laptopnya, membiarkan layar dengan ribuan semut angka dan hurufnya berjalan sendiri. Ia sendiri juga sedang menimang-nimang usulan itu.
“Cepat putuskan, Delapan.”